Setelah BRI Masuk Bursa
Antusiasme masyarakat terhadap go public-nya Bank Rakyat Indonesia (BRI), merupakan bukti bahwa kepercayaan masyarakat cukup tinggi terhadap sektor ekonomi rakyat. Sebab, BRI merupakan bank yang sering diidentikan dengan lembaga pembiayaan untuk ekonomi rakyat, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah.
Menggiurkannya saham BRI ini, tentu juga tak bisa dilepaskan dari kinerjanya yang memang sangat bagus. Target laba 2003 diprediksikan Rp 1,8 triliun, namun pada semester I/2003 sudah mencapai Rp 1,4 triliun. Diperkirakan akhir tahun ini, laba BRI akan mencapai Rp 2,9 triliun atau 160 persen dari perkiraan awal.
Di tengah lesunya bisnis perbankan akibat sulitnya menyalurkan dana ke sektor riil, keberanian dan konsistensi BRI dalam melayani ekonomi rakyat, patut dicontoh oleh bank-bank lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa berbisnis di sektor ekonomi rakyat ternyata juga (sangat) menguntungkan selama dikelola secara profesional.
Di tingkat dunia, BRI juga dikenal sebagai pelaku pembiayaan mikro, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu the biggest microfinance institution in the world. Hal ini tak mengherankan, karena BRI mempunyai hampir 4 ribu kantor, dengan nasabah hampir 30 juta orang (2002).
Keuangan Mikro
Dalam menelaah BRI, agaknya penting untuk memahami apa yang disebut dengan keuangan mikro (microfinance). Dalam Microcredit Summit yang diselenggarakan di Washington tahun 1997, dipersyaratkan empat prinsip utama yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yaitu: menjangkau yang miskin, menjangkau dan memberdayakan perempuan, kelembagaan mampu berkelanjutan secara finansial, dan dampaknya dapat diukur.
Kredit mikro merupakan kredit yang ditujukan kepada pengusaha mikro (microenterprises) yang oleh World Bank sering disebut “economically active poor”, yaitu mereka yang miskin namun aktif berusaha. Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro adalah kredit yang bernilai di bawah Rp 50 juta.
Bila menengok situasi Indonesia, dimana jumlah orang miskin hampir mencapai 40 juta, agaknya misi penguatan ekonomi masyarakat miskin merupakan hal yang mendesak. Malahan menurut data BPS, indeks gini atau indeks kesenjangan (kaya dan miskin) semakin melebar. Kalau pada tahun 1996, indeks gini sebesar 0,36, pada tahun 1999 turun menjadi 0,31, dan kembali naik pada tahun 2002 menjadi 0,33. Artinya, peningkatan ekonomi orang kaya begitu cepat, sementara yang miskin lebih lambat. Bila kesenjangan ini semakin melebar, dikhawatirkan akan terjadi ketidakadilan sosial-ekonomi yang bermuara pada gejolak sosial-politik (social unrest).
Dari sekitar 39,72 unit usaha yang ada di Indonesia, sekitar 98 persen atau 39 juta unit adalah usaha mikro, yang menyerap sekitar 175 juta tenaga kerja (Tambunan: 2002). Jumlah tersebut sangat besar atau sekitar 83 persen dari 210 juta penduduk Indonesia, menggantungkan hidupnya pada usaha mikro. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa membicarakan usaha mikro berarti menggagas nasib (ekonomi) bangsa. Disinilah makna strategis dari pengembangan usaha mikro, yang salah satunya dilakukan melalui keuangan mikro, dalam rangka mewujudkan broad based development atau development through equity.
Mengkritisi BRI
Dari kemampuan BRI dalam memobilisasi dana masyarakat hingga mencapai Rp 23,4 triliun, menunjukkan bahwa potensi dana dari masyarakat desa ternyata sangat besar. Namun demikian, kemampuan BRI Unit untuk menyalurkan dana itu kembali ke masyarakat desa, ternyata hanya mencapai Rp 12 triliun atau sekitar 50 persen. Fenomena ini cukup menyedihkan, karena terjadi semacam “capital flight" dari desa ke kota. Dengan kata lain, desa tidak cukup berkembang karena uang masyarakat desa diserap ke kota.
Dari fenomena tersebut setidaknya menunjukkan dua kemungkinan. Pertama, para pengusaha mikro di desa memang kurang membutuhkan kredit, sehingga mereka tidak mau meminjam. Kedua, karena kemampuan BRI Unit yang terbatas, baik segi sistem, corporate culture, atau kemampuan stafnya, sehingga tidak mampu melayani nasabah mikro secara optimal.
Bila melihat fakta di lapangan dimana masih banyak pelepas uang, pengijon, rentenir, dan sejenisnya, menunjukkan bahwa demand driven terhadap keuangan mikro masih sangat besar. Berdasarkan dana BPR juga menunjukkan bahwa masalah permodalan masih menjadi salah satu kendala utama bagi pengusaha mikro. Dari kenyataan itu membuktikan bahwa tidak benar masyarakat desa itu tidak membutuhkan kredit.
Lalu, bagaimana dengan kemungkinan kedua, menyangkut keterbatasan BRI sehingga tidak mampu menjangkau usaha mikro? Rasanya kita harus hati-hati untuk melakukan judgement, karena selama ini BRI dikenal paling concern terhadap ekonomi rakyat.
BRI ke Depan
Setelah sukses go public, kini BRI mendapat kapitalisasi dana yang cukup besar. Dengan modal sebesar itu akan membuka peluang bagi lembaga keuangan ini untuk melakukan ekspansi. Salah satu peluang ekspansi itu yaitu pembiayaan kepada para pengusaha mikro.
Setidaknya, ada tiga hal yang bisa dikembangkan oleh BRI dalam melakukan ekspansi ini. Pertama, melakukan penguatan kapasitas terus menerus (capacity building), sehingga makin profesional dalam melayani dan mengembangkan keuangan mikro.
Kedua, melalui kerjasama pengembangan Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). Dengan pola PHBK ini terbukti sangat efektif dalam menghubungkan antara financial capital (lembaga keuangan) dan social capital (kelompok swadaya masyarakat/KSM), yang dijembatani dengan pendampingan. Sekarang ini sudah ada sekitar 800 ribu KSM yang dibina oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Mekanisme PHBK ini cukup menarik, karena merupakan terobosan yang memungkinkan bank mampu menjangkau masyarakat kecil (melalui kelompok) yang tidak memiliki cukup jaminan fisik dan kelembagaan formal. Dengan mekanisme kelompok ini, ada beberapa keuntungan bagi bank, antara lain: pertama, mengurangi biaya transaksi, yang bila dilakukan secara indvidual terlalu tinggi sehingga tidak sebanding dengan kredit yang diberikan. Kedua, melalui sistem collateral substitutes berupa tanggung renteng dan adanya social pressure dalam kelompok, memungkinkan terjaminnya keamanan kredit.
Ketiga, mengembangkan mekanisme Pola Hubungan Bank dan Lembaga Keuangan Mikro (PHBL). Begitu banyak dan beragamnya LKM yang telah melayani masyarakat, merupakan aset berharga bagi pengembangan usaha mikro. Namun karena keterbatasan modal, maka pelayanan LKM itu sangat terbatas. Dengan adanya kemitraan antara LKM dan BRI, akan mampu menciptakan sinergi bagi kedua belah pihak.
Alternatif mana yang harus dipilih oleh BRI, tentunya sangat tergantung dari pimpinan BRI sendiri, dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahannya. Tentunya BRI juga tidak harus memilih satu alternatif. Dengan melihat kondisi di masing-masing wilayah operasinya, ketiga alternatif itu bisa menjadi pilihan. Yang jelas, banyak pihak mengharapkan agar BRI tetaplah konsisten dengan misinya mengembangkan ekonomi rakyat, terutama pengusaha mikro.
Tulisan ini pernah dimuat di Republika
Menggiurkannya saham BRI ini, tentu juga tak bisa dilepaskan dari kinerjanya yang memang sangat bagus. Target laba 2003 diprediksikan Rp 1,8 triliun, namun pada semester I/2003 sudah mencapai Rp 1,4 triliun. Diperkirakan akhir tahun ini, laba BRI akan mencapai Rp 2,9 triliun atau 160 persen dari perkiraan awal.
Di tengah lesunya bisnis perbankan akibat sulitnya menyalurkan dana ke sektor riil, keberanian dan konsistensi BRI dalam melayani ekonomi rakyat, patut dicontoh oleh bank-bank lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa berbisnis di sektor ekonomi rakyat ternyata juga (sangat) menguntungkan selama dikelola secara profesional.
Di tingkat dunia, BRI juga dikenal sebagai pelaku pembiayaan mikro, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu the biggest microfinance institution in the world. Hal ini tak mengherankan, karena BRI mempunyai hampir 4 ribu kantor, dengan nasabah hampir 30 juta orang (2002).
Keuangan Mikro
Dalam menelaah BRI, agaknya penting untuk memahami apa yang disebut dengan keuangan mikro (microfinance). Dalam Microcredit Summit yang diselenggarakan di Washington tahun 1997, dipersyaratkan empat prinsip utama yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yaitu: menjangkau yang miskin, menjangkau dan memberdayakan perempuan, kelembagaan mampu berkelanjutan secara finansial, dan dampaknya dapat diukur.
Kredit mikro merupakan kredit yang ditujukan kepada pengusaha mikro (microenterprises) yang oleh World Bank sering disebut “economically active poor”, yaitu mereka yang miskin namun aktif berusaha. Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro adalah kredit yang bernilai di bawah Rp 50 juta.
Bila menengok situasi Indonesia, dimana jumlah orang miskin hampir mencapai 40 juta, agaknya misi penguatan ekonomi masyarakat miskin merupakan hal yang mendesak. Malahan menurut data BPS, indeks gini atau indeks kesenjangan (kaya dan miskin) semakin melebar. Kalau pada tahun 1996, indeks gini sebesar 0,36, pada tahun 1999 turun menjadi 0,31, dan kembali naik pada tahun 2002 menjadi 0,33. Artinya, peningkatan ekonomi orang kaya begitu cepat, sementara yang miskin lebih lambat. Bila kesenjangan ini semakin melebar, dikhawatirkan akan terjadi ketidakadilan sosial-ekonomi yang bermuara pada gejolak sosial-politik (social unrest).
Dari sekitar 39,72 unit usaha yang ada di Indonesia, sekitar 98 persen atau 39 juta unit adalah usaha mikro, yang menyerap sekitar 175 juta tenaga kerja (Tambunan: 2002). Jumlah tersebut sangat besar atau sekitar 83 persen dari 210 juta penduduk Indonesia, menggantungkan hidupnya pada usaha mikro. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa membicarakan usaha mikro berarti menggagas nasib (ekonomi) bangsa. Disinilah makna strategis dari pengembangan usaha mikro, yang salah satunya dilakukan melalui keuangan mikro, dalam rangka mewujudkan broad based development atau development through equity.
Mengkritisi BRI
Dari kemampuan BRI dalam memobilisasi dana masyarakat hingga mencapai Rp 23,4 triliun, menunjukkan bahwa potensi dana dari masyarakat desa ternyata sangat besar. Namun demikian, kemampuan BRI Unit untuk menyalurkan dana itu kembali ke masyarakat desa, ternyata hanya mencapai Rp 12 triliun atau sekitar 50 persen. Fenomena ini cukup menyedihkan, karena terjadi semacam “capital flight" dari desa ke kota. Dengan kata lain, desa tidak cukup berkembang karena uang masyarakat desa diserap ke kota.
Dari fenomena tersebut setidaknya menunjukkan dua kemungkinan. Pertama, para pengusaha mikro di desa memang kurang membutuhkan kredit, sehingga mereka tidak mau meminjam. Kedua, karena kemampuan BRI Unit yang terbatas, baik segi sistem, corporate culture, atau kemampuan stafnya, sehingga tidak mampu melayani nasabah mikro secara optimal.
Bila melihat fakta di lapangan dimana masih banyak pelepas uang, pengijon, rentenir, dan sejenisnya, menunjukkan bahwa demand driven terhadap keuangan mikro masih sangat besar. Berdasarkan dana BPR juga menunjukkan bahwa masalah permodalan masih menjadi salah satu kendala utama bagi pengusaha mikro. Dari kenyataan itu membuktikan bahwa tidak benar masyarakat desa itu tidak membutuhkan kredit.
Lalu, bagaimana dengan kemungkinan kedua, menyangkut keterbatasan BRI sehingga tidak mampu menjangkau usaha mikro? Rasanya kita harus hati-hati untuk melakukan judgement, karena selama ini BRI dikenal paling concern terhadap ekonomi rakyat.
BRI ke Depan
Setelah sukses go public, kini BRI mendapat kapitalisasi dana yang cukup besar. Dengan modal sebesar itu akan membuka peluang bagi lembaga keuangan ini untuk melakukan ekspansi. Salah satu peluang ekspansi itu yaitu pembiayaan kepada para pengusaha mikro.
Setidaknya, ada tiga hal yang bisa dikembangkan oleh BRI dalam melakukan ekspansi ini. Pertama, melakukan penguatan kapasitas terus menerus (capacity building), sehingga makin profesional dalam melayani dan mengembangkan keuangan mikro.
Kedua, melalui kerjasama pengembangan Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). Dengan pola PHBK ini terbukti sangat efektif dalam menghubungkan antara financial capital (lembaga keuangan) dan social capital (kelompok swadaya masyarakat/KSM), yang dijembatani dengan pendampingan. Sekarang ini sudah ada sekitar 800 ribu KSM yang dibina oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Mekanisme PHBK ini cukup menarik, karena merupakan terobosan yang memungkinkan bank mampu menjangkau masyarakat kecil (melalui kelompok) yang tidak memiliki cukup jaminan fisik dan kelembagaan formal. Dengan mekanisme kelompok ini, ada beberapa keuntungan bagi bank, antara lain: pertama, mengurangi biaya transaksi, yang bila dilakukan secara indvidual terlalu tinggi sehingga tidak sebanding dengan kredit yang diberikan. Kedua, melalui sistem collateral substitutes berupa tanggung renteng dan adanya social pressure dalam kelompok, memungkinkan terjaminnya keamanan kredit.
Ketiga, mengembangkan mekanisme Pola Hubungan Bank dan Lembaga Keuangan Mikro (PHBL). Begitu banyak dan beragamnya LKM yang telah melayani masyarakat, merupakan aset berharga bagi pengembangan usaha mikro. Namun karena keterbatasan modal, maka pelayanan LKM itu sangat terbatas. Dengan adanya kemitraan antara LKM dan BRI, akan mampu menciptakan sinergi bagi kedua belah pihak.
Alternatif mana yang harus dipilih oleh BRI, tentunya sangat tergantung dari pimpinan BRI sendiri, dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahannya. Tentunya BRI juga tidak harus memilih satu alternatif. Dengan melihat kondisi di masing-masing wilayah operasinya, ketiga alternatif itu bisa menjadi pilihan. Yang jelas, banyak pihak mengharapkan agar BRI tetaplah konsisten dengan misinya mengembangkan ekonomi rakyat, terutama pengusaha mikro.
Tulisan ini pernah dimuat di Republika
Comments
seks izle