Pemberdayaan Petani, Sebuah Agenda yang Mendesak

“Mereka yang tidak mengingat masa silam,
akan terkutuk mengulanginya”
George Santayana

Dalam sejarah, dunia pertanian Indonesia mempunyai kontribusi besar dalam membangun ekonomi Belanda setelah terpuruk akibat perang melawan Belgia dan Perang Jawa. Melalui penderitaan yang panjang, petani menjadi tumbal atas kontribusi itu. Periode tanam paksa (1830 – 1870) merupakan salah satu sejarah paling kelam terhadap nasib petani[1]. Penderitaan itu antara lain terlukis dalam Max Havelaar karya dari Multatuli.

Tanam paksa merupakan kombinasi yang “canggih” antara feodalisme dan kolonialisme sekaligus. Petani diperas tenaganya (dan tanahnya) secara berganda melalui kerja paksa, yaitu untuk kepentingan kolonial dan para “elit pribumi” (priyayi). Hal ini menyulitkan petani untuk mendapat cukup waktu bagi dirinya sendiri. Kelaparan dan kemelaratan yang hebat, lazim dijumpai pada waktu itu.

Sistem tanam paksa makin lama makin menguntungkan Belanda. Pendapatan tahunan selama 1850-an dan 1860-an saja rata-ratanya telah mencapai 24 juta gulden, yang berarti lebih dari dua kali lipat dibandingkan 1830-an dan 1840-an yang hanya 11 juta gulden. Pada tahun 1860 saja, keuntungan-keuntungan dari Jawa tersebut telah mencakup sepertiga dari pendapatan total pemerintah Belanda.

Memang pada akhirnya, dengan tumbal yang besar, "agroindustri dan agribusiness" Hindia Belanda (Indonesia) berkembang pesat. Bahkan seorang antropolog Amerika, Clifford Geertz pernah menyatakan bahwa sesungguhnya ekonomi Jawa sudah bisa tinggal landas pada sekitar tahun 1870, tetapi karena Jawa merupakan tanah jajahan, yang benar-benar tinggal landas adalah penjajahnya, yaitu bangsa Belanda, bukan bangsa Indonesia yang terjajah[2].

Pada akhir tahun 1900, investasi industri gula di Jawa begitu besar dan lengkap dengan pengangkutan serta infrastruktur pemeliharaannya. Di seluruh Asia, satu-satunya padanannya adalah industri pembuatan serat di Benggala dan pusat industrinya di Kalkuta. Bahkan Jepang pun bukan merupakan pengecualian.

Namun sayang, tahap pengembangan lebih lanjut dari proses kemajuan itu kemudian terhenti. Perlu dicatat disini, perkembangan lebih lanjut tersebut tidaklah harus berarti diidentikkan dengan industrialisasi (dalam pengertian manufaktur dan konstruksi), seperti dipahami dalam "ekonomi pertumbuhan". Perkembangan dan kemajuan tersebut bisa dalam bentuk yang berbeda.

Simon Kuznets dalam studinya tentang perkembangan historis negara-negara industri sejak paruh kedua abad ke-18, yang disebutnya sebagai "era pertumbuhan ekonomi modern", mempertanyakan pandangan konvensional tentang dimensi sempit "ekonomi pertumbuhan". Ia menyatakan pada sejumlah negara maju, pertumbuhan ekonomi lebih didasarkan pada komersialisasi dan modernisasi pertanian secara teknologis daripada industri[3].

Diskusi tentang pertumbuhan ekonomi sendiri kemudian berkembang, lalu mulai diwacanakan tentang pembangunan. Pembangunan dipandang jauh lebih luas dari pertumbuhan, sebab di dalamnya mencakup suatu transisi multidimensional dari suatu struktur yang relatif konstan menuju struktur lain dalam sebuah interaksi yang dinamis. Transisi tersebut memerlukan transformasi dalam proses-proses akumulasi, alokasi dan distribusi dengan pertimbangan yang cukup terhadap interaksi-interaksi antara proses-proses internal dan kekuatan-kekuatan luar yang berhubungan dengan gerakan modal dan perdagangan.

Kolonialisme Belanda memang berbeda dengan kolonialisme Inggris. Negara Inggris sebelumnya telah melaksanakan revolusi industri yang menyebabkan produksinya sangat melimpah, oleh karena itu butuh pasar yang lebih luas. Inggris kemudian melakukan kolonialisme dan menjadikan negara-negara jajahannya menjadi koloni-koloni, terutama untuk tempat pemasaran produknya. Oleh karena itu, Inggris mempunyai kepentingan besar agar daya beli dari negara koloninya relatif baik, sehingga kesejahteraan relatif diperhatikan. Kolonialisme Belanda memang tidak berpikir mengembangkan Indonesia yang sejahtera, modern, dan maju, ia tak lebih memperlakukan sebagai sumber bahan mentah murah berlimpah yang dieksploitasi.

Tiba-tiba krisis melanda, terutama akibat terjadinya Perang Dunia I dan malaise (great depression), hal ini menyebabkan permintaan dari luar negeri menjadi sangat berkurang. Sementara itu, permintaan dari pasar domestik sendiri masih sangat terbatas akibat terlalu rendahnya tingkat pendapatan perkapita penduduk asli Hindia Belanda yang sekedar dieksploitasi. Dengan demikian, meski betapapun cerahnya prospek “agroindustri dan agribisnis” namun masih terlalu jauh untuk dapat menghasilkan skala ekonomi yang substansial akibat sisi demand domestiknya sendiri masih sangat terbatas. Inilah yang kemudian disebut sebagai sebuah "kesempatan yang hilang" (missed opportunity) dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Dan sayangnya, missed opportunity itu terjadi kembali kurang lebih seratus tahun kemudian. Pada tahun 1995 World Bank dalam laporan tahunannya menyebut telah terjadi the East Asian miracle, dimana perkembangan ekonomi dari beberapa negara di Asia yang spektakuler[4]. Fenomena ini merupakan pukulan yang berat bagi yang menganut teori ketergantungan, dimana diyakini ketika negara-negara berkembang mengintegrasikan dirinya pada kapitalisme pasar internasional, maka mereka akan diserap oleh negara-negara maju[5]. Penganut teori-teori ketergantungan menganjurkan ketertutupan negara (closed economy) akibat dieksploitasi oleh negara-negara kapitalis (industri maju), akibat struktur dunia yang tidak adil.

Namun tiba-tiba belum genap dua tahun laporan Bank Dunia, Asia dilanda krisis. Bermula dari Thailand, krisis tersebut merembet ke Malaysia, Korea Selatan, Indonesia, dll. Indonesia merupakan negara yang paling lambat dalam recovery. Industri-industri besar roboh, perbankan ambruk yang menyebabkan pemerintah harus menalangi tak kurang dari Rp 660 trilyun. Dana yang merupakan jaminan pemerintah terhadap dana masyarakat ini besarnya mencapai 60% dari PDB Indonesia tahun 1999. Angka ini merupakan nilai termahal dalam sejarah pemulihan perbankan di dunia[6].

Krisis moneter merupakan pukulan telak bagi Indonesia. Dari data BPS, kemiskinan tahun 1996 diderita 22,5 juta jiwa (11,3%), namun tahun 1998 akibat krisis ekonomi, meningkat tajam menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%). Tahun 1998 pertumbuhan ekonomi merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9%, atau jatuh -18,6% dalam setahun. Kemerosotan ini terutama akibat struktur ekonomi yang rapuh, dimana pembangunan terlalu mengandalkan ekonomi dan industri besar (konglomerasi) yang bahan bakunya terutama dari impor. Inilah missed opportunity yang kedua.

Dari pengalaman berulangnya sejarah Indonesia tersebut, ada pelajaran yang perlu dipetik. Agar struktur ekonomi Indonesia kuat, maka ia haruslah ditopang oleh struktur yang lebih adil dan merata, dimana ekonomi rakyat perlu mendapat tempat proporsional dan juga menjadi andalan bagi bangsa Indonesia. Terbukti, ternyata ekonomi rakyat inilah yang menjadi penyelamat sehingga tidak terjadi kemerosotan ekonomi yang lebih dalam.

Dan dalam konteks pembangunan bangsa inilah, akan diletakkan pembangunan petani dan pertanian Indonesia, terutama menanggapi konsep Bungaran Saragih tentang pembangunan agribisnis. Sebutan petani dan pertanian perlu diungkapkan disini, sebab bila hanya disebutkan pembangunan pertanian, maka pembangunan (pertanian) tersebut acap kali melupakan petani. Padahal, subjek petani merupakan faktor yang signifikan dalam pembangunan pertanian secara keseluruhan[7].

*********

Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian, menegaskan bahwa sektor agribisnis (beliau menyebut sektor pertanian sebagai sektor agribisnis) menyerap lebih dari 75% angkatan kerja nasional termasuk di dalamnya 21,3 juta unit usaha kecil berupa usaha rumah tangga pertanian. Apabila seluruh anggota rumah tangga diperhitungkan maka sekitar 80% dari jumlah penduduk nasional menggantungkan hidupnya pada sektor agibisnis. Peranan sektor agribisnis yang demikian besar dalam perekonomian nasional memiliki implikasi penting dalam ekonomi nasional ke depan[8]. Tak mengherankan bila melihat hal yang sangat strategis ini maka pemerintahan yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kala (2004-2009) melalui Menko Perekonomiaannya yaitu Aburizal Bakrie menegaskan bahwa fokus utama dari pemerintahan adalah pertanian.

Dan berkaca dari sejarah ekonomi yang disebutkan di atas, meskipun penduduk Hindia Belanda pada waktu itu (jaman kolonial) tidak berpendidikan, namun pernah suatu waktu mampu menghasilkan sebuah prestasi yang besar. Kini muncul sebuah pertanyaan yang menggelisahkan dan sekaligus menantang, mampukah pertanian kita dapat diandalkan menjadi sektor unggulan namun tanpa harus mengorbankan nasib para petani. Dan justru akibat pertanian yang maju, maka kesejahteraan petani menjadi lebih baik ?

Sementara itu bila kita melihat sektor pertanian, maka situasi pedih yang akan didapat. Dimana mayoritas petani kita adalah petani gurem dengan tingkat pendidikannya pendidikan SD dan tidak tamat SD mencapai sekitar 80%, serta rata-rata penguasaan lahan adalah 0,25 ha[9]. Kehidupan para petani gurem tersebut subsisten, akibat tak dapat menggantungkan nasibnya sepenuhnya pada pertanian. Bahkan dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa kontribusi hasil pertanian pada petani hanyalah 20% dari total pendapatan. Artinya, sebenarnya relatif sulit untuk menemukan petani dalam arti yang sesungguhnya, yaitu mereka yang menggantungkan mata pencahariannya dan sejahtera melalui pertanian.

Meski tingkat kesejahteraan kebanyakan petani begitu buruk (miskin), namun relatif jarang ditemui terjadinya pemberontakan ataupun radikalisasi petani. Memang ada beberapa pengecualian, namun hal ini tidak cukup banyak. Dan ternyata dibalik kepasrahan para petani tersebut, mereka sebenarnya mempunyai kekuatan. Adapun kekuatan tersebut adalah keyakinan akan harapan, hal ini misalnya ditemui dalam peribahasa “ono dino ono upo”, yaitu sebuah keyakinan bahwa setiap hari pasti akan ada rejeki.

Keyakinan lain, misalnya tentang suatu hari kehidupan akan lebih baik dengan munculnya ratu adil (mesianisme). Dan spiritualitas inilah yang mendasari masyarakat pedesaan (petani) dari waktu ke waktu. Kemudian secara perlahan timbul reaksi terhadap situasi yang buruk dan muncul kepercayaan pada akhirnya kehidupan buruk itu akan lenyap. Optimisme ini juga memberikan keyakinan mendasar dalam kerja keras, inilah yang akan menjadi aset utama kehidupan masyarakat tani. Dan dalam hal ini tidak mengherankan bila Sajogyo, ahli sosiologi pedesaan, mengungkapkan” Jika Anda ingin mengerti perekonomian negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami”[10].

Kajian pembangunan (ekonomi) yang dikaitkan dengan kebudayaan, akhir-akhir ini mulai diperhatikan, terutama mengisi setelah teori ketergantungan mulai disangsikan dalam menjawab kebutuhan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Samuel Huntington, dalam judul tulisannya Cultures Count, secara meyakinkan mengemukakan tentang eratnya kaitan kebudayaan dan ekonomi suatu negara, terutama ketika ia membandingkan Korea Selatan dan Ghana.

Data dua negara dalam tahun 1960 itu setingkat. Penghasilan per kapitanya sama. Sama pula pembagian ekonominya dalam produksi primer, manufaktur, dan jasa. Sama ekspor bahan mentah, Korea Selatan lebih disertai ekspor barang jadi sedikit. Tiga puluh tahun kemudian, kata Huntington, Korea Selatan tumbuh sebagai negara raksasa ekonomi terbesar nomor 14 di dunia, pendapatan per kapita mendekati Yunani dan lebih lagi Korea Selatan menempuh jalan demokrasi ! Sementara itu, Ghana kondisinya sekarang masih tetap buruk.

Dalam dimensi tentang pentingnya kebudayaan inilah, maka betapa pemikiran Soedjatmoko menjadi sangat layak dikemukakan di sini. Dari judul tulisannya saja, Pembangunan Ekonomi Sebagai Masalah Kebudayaan, sungguh terasa bahwa kebudayaan merupakan hal yang sentral untuk mencapai kesejahteraan[11]. Kebudayaan berperan untuk kemajuan, yakni kemajuan yang emansipatoris bagi beragam bidang kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, hak asasi, kemanusiaan. Lalu pertanyaannya kini, bagaimana mengusahakan kebudayaan agar dapat mendukung pembangunan, "membangun kebudayaan Indonesia yang dibangun secara sadar", dari static culture ke progressive culture. By design not by default[12].

Dan rasanya tidak berlebihan bila kemudian kita menengok Selo Sumardjan, salah seorang pemikir kebudayaan terkemuka di tanah air[13]. Beliau mengemukakan bahwa dalam sosiologi dikenal istilah “poverty culture”, kebudayaan orang miskin. Seseorang dapat menjadi miskin, bukan karena tidak memiliki modal uang untuk usaha, akan tetapi karena dia tidak mempunyai komponen-komponen dalam jiwanya untuk mengembangkan ekonomi. Watak yang demikian itu merupakan refleksi dari budaya sosial yang tidak menghargai unsur-unsur finansial dan material ekonomi dalam kehidupan masyarakatnya.

Dimensi pribadi tersebut, ujarnya, didukung pula oleh dimensi (lingkungan) sosial. Peribahasa “sugih tanpa bondo” (kaya tanpa uang atau benda) mengajarkan bahwa lebih baik orang mempunyai banyak saudara, kawan dan handai taulan dari pada mempunyai kekayaan uang atau benda. Peribahasa lain mengatakan “mangan ora mangan, waton kumpul” (makan tidak makan adalah tidak penting, asal kita bisa berkumpul). “Makan” di sini dapat diartikan hasil usaha (ekonomi) pertanian, sedang “berkumpul” mempunyai makna sosial. Dari kedua peribahasa itu dapat dimengerti bahwa yang diunggulkan dalam kebudayaan sosial yang mendukung ekonomi rakyat adalah bukan faktor atau nilai ekonomi, tapi faktor dan nilai sosial dalam wujud kekeluargaan.

Timbul pertanyaan, dapatkah “poverty culture” itu diubah menjadi “economic culture” dalam kurun waktu seorang menjadi warga masyarakatnya berbudaya sosial ? Jawabnya tegas : Tidak mungkin! Seorang warga masyarakat mempunyai watak atau jiwa di dalam dirinya yang bersumber dari kebudayaan masyarakat tempat dia menjadi anggota. Kalau masyarakat berbudaya sosial, menurut Sumardjan, para warganya umumnya berwatak sosial. Kalau masyarakatnya berbudaya ekonomi, maka pada umumnya para warganya berwatak ekonomi pula.

Namun di dalam masyarakat selalu ada seseorang atau beberapa orang yang mempunyai pengalaman hidup pribadi yang menyimpang dari kebudayaan masyarakatnya. Dengan pengalaman pribadi itu seorang warga masyarakat sosial dapat membentuk watak ekonomi, sehingga seolah-olah dengan sendirinya akan selalu berbuat ekonomi atau business. Tetapi sebaliknya, di dalam masyarakat yang berbudaya ekonomi mungkin sekali terdapat seseorang atau beberapa warga yang berjiwa sosial, tidak sesuai dengan budaya ekonomi yang mengelilinginya.

Menurut Sumardjan lagi, untuk mengubah seluruh masyarakat yang berbudaya sosial menjadi masyarakat dengan budaya ekonomi diperlukan program yang terus menerus selama paling lambat dua generasi. Pertanyaannya kini, cukup sabarkah kita menunggu dua generasi sementara negara-negara lain telah berlari semakin mendahului kita. Bisakah hal ini dipercepat ? Tentunya hal ini bisa dilakukan, yaitu melalui transformasi sosial. Wujud dari transformasi sosial itu salah satunya adalah melalui pemberdayaan.

Sementara itu, dalam alam pikir masyarakat Indonesia pada umumnya, sangat sulit dijumpai gambaran yang cukup jelas tentang masa depan. Peribahasa “ono sego ono upo” disamping menunjukkan optimisme, namun di sisi lain juga menunjukkan pandangan yang jangka pendek. Masyarakat “gemah ripah loh jinawi” yang akan diwujudkan oleh “sang ratu adil” pun tidaklah terlalu jelas wujudnya dan terkesan menjadi pasif. Keadaan akan menjadi baik, bila akan muncul sang ratu adil. Padahal untuk memperjuangkan nasibnya, tak bisa tidak, harus dimulai dalam dirinya sendiri. Dan sekali lagi, inilah urgensi pemberdayaan.

********

Pemberdayaan rakyat (petani) merupakan suatu model aktivitas yang menempatkan manusia (petani) menjadi pusat pengembangan itu sendiri. Manusia adalah obyek dan sekaligus subyek pengembangan. Pemberdayaan tersebut yang berpusat pada manusia, tidak hanya memperhatikan masalah, kebutuhan, dan aspirasi mereka, tetapi juga menghargai potensi yang terkandung dalam dirinya serta mempercayai tujuan yang ingin dicapainya.

Pada dasarnya manusia merupakan subyek eksistensi, ia sadar akan dirinya dan realita di sekitarnya. Dalam pemaknaan ini manusia pada dasarnya adalah unik, interpretasi terhadap lingkungan sekitarnya, bisa jadi akan sangat berbeda ditinjau dari sudut pandang dan pengalaman pribadi dari sejarah perjalanan hidupnya. Pada konteks ini, pandangan terhadap sesuatu hal pada seorang manusia merupakan sebuah kepingan yang tidak utuh. Keutuhan akan pandangan, bisa terjadi bila kepingan-kepingan tersebut dicoba untuk dipadukan dalam sebuah interaksi dan komunikasi. Dengan perkataan lain, melalui interaksi dan komunikasi manusia memperkaya diri.

Pada dasarnya, interaksi dan komunikasi antar manusia ini juga akan menjadi sarana bagi manusia untuk saling mengasah dan memperkembangkan dirinya masing-masing. Dalam kehidupan organisasi, komunikasi eksistensi antar manusia ini akan semakin memanusiakan manusia melalui proses terbangunnya keutuhan manusia[14]. Selanjutnya manusia tersebut justru akan menjadi dirinya sendiri, melalui interaksi yang saling “mengutuhkan” antar manusia dan manusia pun akan semakin mandiri.

Kemandirian (keswadayaan) adalah suatu kondisi dimana manusia memiliki sejumlah kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, serta mampu memperhitungkan kesempatan-kesempatan dan ancaman yang ada di lingkungan sekitarnya, maupun kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat dipakai untuk melangsungkan kehidupan yang berkelanjutan (sustainable). Kemandirian manusia ini, dalam pengalaman kami, akan relatif lebih cepat prosesnya bila melalui interaksi antar manusia dalam kelompok (organisasi). Dengan semakin terberdaya (mandirinya) anggota organisasi/kelompok, yang menjadi akar pondasi kekuatannya, maka hal ini akan berbanding lurus dengan kemandirian organisasi/kelompok dalam menentukan pilihan-pilihannya.

Berpijak dari pemikiran di atas, pada dasarnya setidaknya dapat disimpulkan bahwa organisasi masyarakat merupakan :
- wahana belajar mengajar, yaitu wahana saling asah, asih dan asuh sehingga akan terjadi saling pembelajaran dan peneguhan antara anggota organisasi (learning organization).
- wahana identifikasi masalah & pengambilan keputusan bersama, yaitu menjadi sarana pemecahan keputusan untuk pencapaian kebaikan bersama (common goods)
- wahana pooling of resources, yaitu tempat untuk memobilisasi sumber daya individu (tenaga, pikiran dan material) individu yang mempunyai keunikan dan kelebihan masing-masing, serta bisa menghasilkan sinergi
- wahana berinteraksi pihak III (representasi) : merupakan sarana yang representatif untuk memperjuangkan aspirasi para anggota kepada pihak-pihak yang lain (pemerintah, lembaga keuangan, pasar, dll) dengan posisi tawar yang lebih baik

Dalam perkembangannya organisasi merupakan bentuk partisipasi, solidaritas & kemandirian masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri. Dan di dalam masyarakat, kita mengenal berbagai macam kelompok swadaya yang tumbuh berkembang secara tradisional seperti arisan, jimpitan, pengajian, kelompok doa, dsb. Kelompok jenis ini pada umumnya organisasinya sederhana, peraturannya disusun dalam norma-norma yang tidak tertulis dan sangat cair. Karenanya sulit bagi kelompok yang demikian itu untuk mengatasi masalah yang dihadapi di lingkungannya. Karenanya prinsip keswadayaan (kemandirian) dalam pembinaan orang kecil, miskin, lemah tersebut dilaksanakan dalam wadah kelompok swadaya atau KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat).

Agar KSM bertransformasi dan menjadi mandiri, diperlukan adanya pendampingan. Pendampingan dimaksudkan sebagai upaya memberdayakan masyarakat, melalui KSM, agar dapat mencapai keswadayaan (kemandirian). Dalam melakukan pendampingan ini diperlukan pendamping yang berperan sebagai pendorong (motivator) anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelompok, sebagai pelancar (fasilitator) usaha kelompok dan penghubung (komunikator) dengan lembaga pemerintah, swasta, dll.

Beberapa komponen yang dapat digunakan sebagai acuan penyelenggaraan KSM, yaitu :

KSM perlu berorientasi pada peningkatan pendapatan. Dalam rangka ini perlu diupayakan secara terus menerus pemahaman dan peningkatan penyelenggaraan ekonomi rumah tangga yang efektif; pemupukan modal swadaya serta pengembangan ke arah usaha yang produktif.

KSM perlu bersikap terbuka, yakni terbuka terhadap gagasan-gagasan baru serta terbuka terhadap kerjasama baru untuk mencapai tingkat skala usaha yang lebih besar.

KSM perlu diselenggarakan dengan prinsip demokrasi dan partisipasi yang tinggi diantara anggotanya. Dalam rangka ini maka perlu didorong agar ada pertemuan anggota yang diselenggarakan secara ajeg dan terus-menerus setiap satu bulan atau satu minggu sekali; pengurus dipilih oleh, dari dan untuk anggota; keteraturan dan ketertiban administrasi dan manajemen terbuka; program pendidikan kader, adanya perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan secara partisipatif.

Untuk mencapai keswadayaan itu diperlukan proses pengentalan atau internalisasi di dalam KSM dengan tahap-tahap : Penggalian Motivasi, Pengembangan Sistem Dukungan Sumber Daya, Konsolidasi Organisasi, Penumbuhan dan Pengembangan Usaha, dan Pengembangan Kemandirian Kelompok.

Agar penyelenggaraan KSM berhasil optimal, maka diperlukan kegiatan pendampingan bagi KSM-KSM dan ada 3 hal yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pengembangan KSM, yaitu :

1. Faktor internal
Yaitu faktor kelembagaan kelompok yang menyangkut keanggotaan, kepengurusan, kegiatan kelompok, dan mekanisme kerja. Semakin berkembang anggota, baik kuantitatif maupun kualitatif, semakin tinggi dedikasi dan waktu yang tersedia serta kemampuan pengurus; semakin banyak kegiatan kelompok yang melayani kepentingan anggota dan semakin baik mekanisme kerja yang ada, maka semakin membuka peluang kelompok untuk berhasil.

2. Faktor eksternal
Seperti faktor lingkungan sosial, ekonomi, dan politik, hubungan dengan aparat setempat, dukungan lembaga bisnis setempat, dan keterkaitan program pemerintah yang masuk untuk pengembangan wilayah dimana kelompok berada. Semakin besar potensi sosial-ekonomi yang mendukung perkembangan kelompok, semakin nyata dukungan lembaga bisnis setempat, dan semakin baik hubungannya dengan aparat maupun dukungan program pemerintah maka akan membuka peluang kelompok untuk berkembang.

3. Faktor Lembaga Pendampingan
Yaitu yang meliputi sub faktor wawasan Lembaga Pendampingan dan sub faktor tenaga yang dimiliki lembaga tersebut. Semakin tepat wawasan dan tersedianya tenaga yang potensial dari Lembaga Pendampingan dalam melayani kelompok swadaya masyarakat atau KSM, maka semakin membantu kelompok dalam meningkatkan keberhasilannya.

Dalam konteks ini, peran pemerintah adalah memfasilitasi, mendukung dan mengayomi proses keberdayaan masyarakat. Adapun hal-hal yang sudah bisa dikerjakan masyarakat, jangan diambil alih oleh negara (pemerintah) sebab justru melemahkan keberdayaan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini perlu memegang prinsip subsidiaritas dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Yaitu, negara tidak perlu mencampuri urusan-urusan yang dapat diatur sendiri oleh masyarakat. Akan tetapi, pada saat masyarakat tidak sanggup lagi mengatasi soal yang dihadapinya, negara wajib campur-tangan secara aktif, apalagi kalau masyarakat sendiri mengajukan permintaan kepada negara untuk membantu menyelesaikan masalah mereka

Dimensi pengembangan sumber daya manusia melalui penguatan institusi (kelembagaan) KSM, dari pengalaman praksis Bina Swadaya, hasilnya ternyata sangat menggembirakan. Hal ini dilaksanakan dengan mengkombinasikan pemecahan masalah lokal dengan dukungan program nasional, antara lain : program Woman Participation in Development sejak 1983 bekerjasama dengan BKKBN diterapkan di seluruh Indonesia yang merupakan embrio kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) dan pada tahun 1999 mencapai 650 ribu kelompok UPPKS, pelaksanaan program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang bekerjasama dengan Bappenas dan Depdagri membentuk 120 ribu Pokmas (kelompok masyarakat), program perhutanan sosial bekerjasama dengan Perhutani di seluruh Pulau Jawa dengan pembentukan puluhan ribu KSM, Pola Hubungan Bank dan KSM (PHBK) yang bekerjasama dengan Bank Indonesia, BRI, GTZ, dan berbagai LSM lain sehingga mampu melayani lebih dari satu juta kepala keluarga (microenterepreneurs), pompanisasi dan pembentukan kelompok masyarakat pengguna pompa yang bekerjasama dengan Pemda Subang, dll.

Disamping program yang jangkauan dan skalanya luas, terdapat beberapa kasus spesifik (melibatkan kearifan lokal) yang beberapa contohnya antara lain :

Kasus Desa Manjung, Klaten (Kemandirian dan Kesejahteraan)

Desa ini awalnya merupakan desa miskin, kemudian menjadi lokasi dampingan Bina Swadaya. Sebagian besar penduduk desa ini bergerak dalam bidang industri so-on. Melalui program pendampingan, mereka membentuk kelompok dan melakukan pemupukan modal melalui kegiatan simpan pinjam. Kelompok ini menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) untuk memenuhi kebutuhan modal anggotanya.

Kini berkat pengembangan usaha kelompoknya maka industri rumah tangga telah menjadi industri kecil dan Desa Manjung tidak lagi tergolong desa miskin. Aktivitas kelompok tidak hanya dilakukan untuk kepentingan anggota semata-mata, tetapi juga berhasil menyisihkan dana untuk membangun desa (misalnya : membangun infrastruktur desa). Kelompok ini sudah mandiri secara ekonomi, misalnya mereka sudah bisa berhubungan langsung dengan lembaga keuangan yang ada. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, tidak sedikitpun mereka mendapat bantuan dari pemerintah, baik itu berupa bantuan modal maupun bantuan teknis. Dalam mengembangkan teknis produksi, mereka sudah mampu menjalin kerja sama dengan UGM. Ini adalah akses yang mereka cari sendiri, bukan aparat pemerintah.

Kasus Desa Pucangro, Lamongan (Kemandirian dan Pemberdayaan Perempuan)

Pucangro pada mulanya dalam kondisi memprihatinkan, bila musim hujan sering dilanda banjir dan pada musim kemarau sulit mendapatkan air. Program dari Bina Swadaya pertama kali sempat mendapat tantangan dari tokoh masyarakat, namun kemudian diterima. Bina Swadaya mentransformasikan dan merevitalisasi kelompok ibu-ibu PKK menjadi beberapa KUB (Kelompok Usaha Bersama).

Disamping terjadi peningkatan kesejahteraan, pembentukan KUB ternyata juga meningkatkan partisipasi anggotanya dalam pengembangan desa. Para pengurus kelompok umumnya menjadi orang yang memiliki peran penting dalam desa tersebut. Bahkan, salah seorang Ketua UB Serbaguna, Susmawati, mendapat dukungan penuh dari para anggota yang tergabung dalam BKKUB (Badan Koordinasi Kelompok Usaha Bersama) dan berhasil dipilih menjadi Kepala Desa Pucangro. Sementara Sekretaris Desa, Solihah, adalah Ketua UB Sidomulyo. Jadi, Desa Pucangro dipimpin oleh wanita. Susmawati berhasil mengalahkan dua saingannya yang semuanya pria, yaitu Kepala Desa yang masih menjabat dan pejabat polisi yang masih aktif.

Fenomena yang juga menakjubkan lagi dari kasus Pucangro adalah tentang keswadayaaan dan kemandirian masyarakatnya. Prospek otonomi di desa Pucangro, seandainya bantuan desa Rp 10 juta pertahun tidak diberikan lagi, pemerintah desa tetap akan berjalan biasa dan tetap mampu membiayai anggaran belanja rutin maupun anggaran pembangunannya. APPKD 2001 berjumlah Rp 48 juta, separoh diantaranya (Rp 24,5 juta) berasal dari pasar desa yang setorannya selalu naik setiap tahun. Pendapatan desa lain-lain adalah pelelangan selokan-selokan air yang menghasilkan ikan (Rp 2,5 juta/tahun), bahkan juga patok jalan yang menghasilkan Rp 6 juta/tahun[15].

Kasus di Kendal (Kemandirian Sikap Politik)

Bina Swadaya melakukan pendampingan melalui pembentukan beberapa KSM di Kendal Jawa Tengah. Sekitar tahun 1980, akibat adanya Inpres tentang TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi), pemerintah mewajibkan para petani menanam tebu. Suasana pada waktu itu (Orde Baru) dominasi (otoritarianisme) negara sangatlah kuat, setiap aktifitas yang kritis apalagi “menentang” pemerintah akan segera dengan mudah “dituduh PKI” dan diberangus tanpa ampun, baik melalui birokrasi, aparat keamanan (polisi), maupun militer (kekerasan).

Dampak untung dan rugi adanya TRI dibicarakan melalui musyawarah, terutama melalui kelompok-kelompok masyarakat (KSM). Melalui berbagai musyawarah akhirnya diambil kesimpulan, TRI merugikan petani. Berdasar kesadaran kritis itu, para petani di Desa Kendal menolak adanya TRI di daerahnya (civil disobedience). Dalam konteks waktu saat itu, sikap dan keberanian ini adalah hal yang luar biasa, apalagi hal itu muncul di desa terpencil yang jauh dari dunia informasi dan publisitas (pers). Rasa takut itu berhasil dipecahkan dan warga desa siap menghadapi resiko apapun. Dan sejarah akhirnya memang membuktikan, TRI memang merugikan petani dan industri gula sendiri juga mengalami kemerosotan yang besar[16].


Dalam refleksi pengalaman Bina Swadaya melakukan transformasi masyarakat di lapangan (bergumul di grass root), sebenarnya tidaklah terlalu banyak hambatan. Hanya saja, akibat prinsip subsidiaritas yang kurang dihargai oleh pemerintah (terutama pada masa orde baru, meski sekarang pun masih terasa), dalam beberapa kasus transformasi masyarakat tersebut tidaklah selancar seperti yang diharapkan.

*****

Konsep agribisnis yang ditawarkan oleh Bungaran Saragih, diakui sendiri terutama mengadopsi pemikiran John H. Davis dalam buku yang berjudul A Conception of Agribusiness, Harvard University. Dalam konteks epistemologi muasal pemikiran, adopsi ini tentu perlu dilakukan hati-hati. Pemikiran tersebut lahir dalam konteks kebudayaan tertentu, yaitu Amerika Utara.

Rasanya dalam hal ini kita perlu merujuk Y.B. Mangunwijaya, ketika memberi pengantar buku kumpulan tulisan filsuf Sidney Hook, yang dianggap sebagai Socrates Amerika[17]. Roh yang mengakar di Amerika adalah tradisi liberal, individual, pragmatis, free fight dan free enterprise yang kemudian menghasilkan gamesman, juglefighters, craftsmen, dan companymen. Oleh karena itu konsep dari negara Uncle Sam perlu diletakkan pada segi psikologi pengalaman historis dan kondisional tertentu.

Dalam lingkungan masyarakat yang miskin, lemah, labil dan agraris belum mengalami kesadaran Pencerahan, dan karena itu masih sempit horisonnya, primordial dan emosional cita rasanya, masih dalam alam pikiran takhyul (lihat : salah satu rating tertinggi acara televisi bertemakan takhyul, pemutaran film Jailangkung membuat antre berjam-jam bahkan di Jakarta!), konteks kondisional ini rasanya perlu dipertimbangkan.

Memang pernah jaman dulu suku-suku Nusantara masih berbudaya maritim dan memiliki sikap pemberani dan kuat penuh tekat petualangan[18]. Tetapi masa itu sudah diakhiri oleh jaman perbudakan (kolonialisme) yang terlanjur mewariskan sikap mental jongos dan babu yang sangat mendalam, dan yang masih kita lihat warisannya di mana-mana sampai saat ini, tidak terkecuali bahkan khususnya di kalangan birokrasi (feodal). Oleh karena itu, menurut Mangun, dengan latar belakang pengalaman dan penghayatan eksistensial bangsa yang lain sama sekali, tentu harus disambut dengan baik, tetapi harus kita saring dengan hati-hati. Ingat syair lagu yang sudah diplesetkan : “nenek moyangku orang pelaut, tapi orang tuaku orang tani”.

Dalam konteks tulisan panjang lebar di atas, di mana kita masih dominan “budaya sosial” dari pada “budaya ekonomi”, jelaslah bahwa sebelum melangkah ke konsep yang maju (agribisnis) tentu perlu dibarengi (atau mungkin lebih tepatnya disiapkan) sumber daya manusia dan kelembagaan yang mendukung. Dan tentu tak bisa dilupakan pentingnya berbagai kebijakan strategis yang mendukungnya, misalnya melalui reformasi agraria (terutama land reform; di Amerika pemilikan lahan pertanian rata-rata 100 ha).


Epilog

Pada abad 19, dunia barat kondisinya masih liar, penuh slum dan squatters, dan penuh kekerasan (wild west) serta tak jauh berbeda dengan banyak negara berkembang[19]. Hernando de Soto, yang disebut The Economist sebagai the second most intellectual in the world, dalam riset lapangan dan pustaka yang mendalam tentang pengalaman sejarah keberhasilan negara-negara maju, dia menemukan bahwa kemampuan mentransformasikan “potensi ekonomi rakyat” dalam kelembagaan yang modern merupakan aspek sentral keberhasilan negara-negara maju tersebut (extra legal menjadi legal activities)[20]. Inilah yang kemudian ia sebut, menghidupkan dead capital merupakan kunci pengembangan negara-negara berkembang agar maju dan terlepas dari himpitan kemiskinan.

Pengalaman pahit adanya sejarah yang telah berulang di Indonesia, dimana membesarkan yang kuat ; jaman penjajahan hanya membesarkan perkebunan besar (onderneming) dan jaman orba hanya membesarkan konglomerat, ternyata menimbulkan struktur ekonomi yang rapuh. Ke depan, untuk membangun struktur ekonomi Indonesia yang lebih kuat dan adil, prioritas pengembangan bagi sektor ekonomi rakyat (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan baik on farm maupun off farm, dalam skala terbatas dan subsisten) secara proporsional merupakan hal yang tak bisa ditolak lagi. Jadi jelaslah, membangun dari bawah merupakan hal yang sentral untuk Indonesia ke depan[21].

Dalam hal ini agaknya ungkapan putting the last first dari Chambers, kini rasa-rasanya makin perlu dikedepankan. Dan bila logika berpikirnya masih “membesarkan gunung-gunung untuk mengisi jurang-jurang” atau trickle down effect, mungkin dalam kurun waktu tertentu akan terjadi pertumbuhan. Namun dalam beberapa (puluh) tahun lagi, kita harus siap untuk dikutuk sejarah lagi, yaitu runtuhnya struktur ekonomi yang rapuh dan harus memulai dari awal kembali.***

[1] Aspek sejarah terutama mendasarkan “Conference on Indonesia’s Modern Economic History (1815-1990)” yang diselenggarakan di Indonesia, Australia, dan Belanda. Hasilnya diterbitkan dua buku : Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, Berbagai Tantangan Baru, (LP3ES, 1998) dan Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (Pusat Studi Asia Tenggara UGM dan Pustaka Pelajar, 2002)
[2] Prisma, Edisi April 1991
[3] Djojohadikusumo, Sumitro, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, LP3ES, 1994
[4] The World Bank Report, 1995
[5] Hughes, Helen (editor), Keberhasilan Industrialisasi di Asia Timur, National Centre for Development Studies Australian National University diterbitkan Gramedia 1992
[6] Tim Litbang Kompas, Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Penerbit Buku Kompas, 2002
[7] Untuk lebih dalam lihat di Korten, David and Klauss, Rudi (Editors), People Centered Development, Contribution toward Theory and Planning Frameworks, Kumarian Press, 1984
[8] Pertanian Mandiri, Pandangan Strategis Para Pakar untuk Kemajuan Pertanian Indonesia, BEM Faperta IPB dan Penebar Swadaya, 2004
[9] Afandi, Andik, Tragedi Petani, “Musibah” Panen Raya Padi 2000, Lembaga Analisis Informasi, 2001
[10] Dari Praktek ke Teori dan ke Praktek yang Berteori, disampaikan dalam Acara Refleksi Sajogyo (Desember 2003)
[11] Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, LP3ES, 1995
[12] Oetama, Jakob, makalah dalam Koentjaraningrat Memorial Lecture I, Jakarta, 15 September 2004
[13] Tim Perumus/Penyunting, Sarasehan Kebudayaan Tamansiswa XII, Membangun Ketahanan Ekonomi Indonesia Melalui Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Tamansiswa, 2002
[14] Driyakara tentang Pendidikan, Kanisius, 1980
[15] Makalah dari Sholihah (Sekdes Pucangro), Peran Kaum Perempuan Melalui Kelompok Usaha Bersama dalam Usaha Pengentasan Kemiskinan, 2001
[16] Tim Perumus/Penyunting, Sarasehan Kebudayaan Tamansiswa XII, Membangun Ketahanan Ekonomi Indonesia Melalui Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Tamansiswa, 2002
[17] Kurtz, Paul, Sidney Hook : Sosok Filsuf Humanis Demokrat dalam Tradisi Pragmatisme, YOI, 1994
[18] Lebih lanjut lihat di Arus Balik, sebuah roman sejarah yang dahsyat karangan Pramoedya Ananta Toer
[19] The Gangs of New York, film yang melalui riset sejarah mendalam ini menggambarkan Amerika abad 19
[20] Soto, Hernando, The Mystery of Capital : Why Capitalism Triumph in the West and Fail Everywhere Else, Bantam Books, 2000
[21] Simbolon, Parakitri, Menjadi Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 1999

Tulisan ini ada di dalam buku Ultah ke 60 Bungaran Saragih, sekaligus untuk menanggapi pemikirannya tentang Konsep Agribisnis. Tulisan ini dibuat bersama "bos" saya

Comments

Popular posts from this blog

Why Modern Economics Fails Humanity: Insights from Muhammad Yunus

Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (2)

Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (1)