Perlukah Mewaspadai Cina ?
Cina adalah negara termiskin dan terlemah, gugat Sun Yat Sen. Negara lain menyiapkan pisau dan garpu, sementara Cina menjadi ikan dan dagingnya. Sun kemudian menginginkan Cina yang bukan hanya sebagai kekuatan besar (great power), tapi juga mampu mentransfer nilai-nilainya ke seluruh dunia. Mao Zedong lalu bertekad, "Kita akan tunjukkan pada dunia, bangsa Cina seperti apa kita ini". Ia lalu menginisiasikan Teori Tiga Dunia (dunia terbagi dalam dunia pertama, kedua dan ketiga), sebagai positioning Cina dalam konstelasi dunia.
Cina saat ini telah jauh berbeda dengan ilustrasi Berger, sebuah negara "tirai bambu" yang sering dikutip sebagai representasi "keburukan" sistem sosialisme (Pyramids of Sacrifice, 1974). Deng Xiaoping, secara radikal telah merombak Cina. Negara itu, tak bisa dikatakan menganut sosialisme lagi. Mimpi Sun, kini mendekati kenyataan.
Dengan penduduk terbesar di dunia, serta volume perdagangan sebesar Rusia, India dan Indonesia yang digabung menjadi satu, Cina menjadi negara yang sangat diperhitungkan di dunia. Batuknya Cina pun, kini bisa membuat negara lain miris. Devaluasi Yuan yang menyebabkan ketidaksempurnaan fungsi pasar dunia, oleh Corsetti, Pesenti dan Roubini, disinyalir merupakan salah satu biang kerok penyebab oleng dan rontoknya negara-negara Asia akibat krisis (Pani, Inclusive Economics, 2001).
Pertahanan terbaik adalah menyerang, kata Licheng pengusaha besar dari Cina. Atau bahasa lebih halus dikatakan Zhu Rongji, going outside strategy. Lalu, sesuai falsafah Sun Zu, penyerangan harus dilakukan cepat (surprise) dan saat musuh lemah. Karena Cina berambisi menjadi dominant power di Asia Tenggara menggeser Jepang dan Amerika, ia tak melewatkan kesempatan emas.
Dengan segera Cina menanam kaki, "menyerang" negara-negara yang belum pulih diterpa krisis itu. Di Asia Tenggara, tahun 1999 investasi Cina sebesar 72 juta dolar AS, setahun kemudian melompat naik 50%, menjadi 108 juta dolar (Far Eastern Economic Review, edisi Maret 2002). Hal itu dilanjutkan dengan rencana pembentukan pasar bebas ASEAN dan Cina.
Derasnya penetrasi Cina ke Asia Tenggara, dibarengi berhasilnya 15 tahun perjuangan yang melelahkan, Cina masuk WTO. Dengan makin terbukanya Cina, kini Asia Tenggara mengalami babakan yang sungguh mendebarkan. Pada sisi optimis, dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan konsumsi 1,3 miliar manusia, Cina bisa menjadi motor pertumbuhan regional. Sisi pesimisnya, keunggulan komparatif yang nyaris sama dan besarnya pasar, akan menghisap investasi asing masuk ke Cina. Negara itu, jauh lebih menggiurkan dan menanrik.
Investasi Colosal
Selama 10 tahun terakhir, menurut statistik UNCTAD, Cina telah menyerap seperlima dari seluruh investasi asing ke negara berkembang. Hampir seluruh perusahaan terkemuka dunia, yang masuk daftar Fortune 500, telah menginvestasikan usahanya ke Cina. Persaingan memperebutkan pasar, juga makin ketat. Pengeluaran Coca Cola untuk promosi dan pemasaran, lebih besar di Cina daripada di Amerika. Nilai investasi asing di Cina sampai Oktober 2000, sebesar 330 miliar dolar AS atau sekitar Rp 3.300 triliun. Investasi kolosal ini cenderung akan naik di tahun-tahun mendatang.
Atas kesadaran jangka panjang, Cina berusaha mengundang investasi asing yang mentransformasikan pengembangan dan inovasi teknologi. Hasilnya tidak mengecewakan. Pada awal kebijakan pintu terbuka, investasi yang masuk terutama industri padat karya, namun lima tahun terakhir industri padat teknologi telah mendominasi. Kini lebih dari setengahnya, perusahaan terkemuka di bidang elektronika, peralatan telekomunikasi, kimia, rekayasa mesin, otomotif, farmasi serta yang lain, merupakan penanam modal asing (PMA). Produk mesin dan elektronika, mulai mendominasi ekspor Cina. Nilainya tahun 1999, mencapai 52% dari total ekspor PMA.
Krisis di Asia telah memberi pelajaran untuk dipacunya usaha swasta, dan didukungnya usaha kecil menengah (UKM). Konglomerasi didukung negara telah gagal. Ini bisa dilihat pada Jepang, Korea Selatan dan Indonesia. Cina agaknya juga memetik pelajaran itu. Kini, UKM yang padat karya itu, siap berhadapan dengan investasi asing. Tantangan selama dua dekade, reformasi dan pintu terbuka, telah memaksa mereka menjadi kompetitif. Di Zhejiang, misalnya, lebih dari 80% perusahaan adalah kecil atau menengah. Namun pelan tetapi pasti, ujar Liu He, mereka akan berkembang menjadi usaha besar dan kompetitif.
Sementara itu di Shanghai, Suzhou, Shenzen, Tianjin serta kota lain, perusahaan multinasional dengan mudah mendapat perusahaan partner pendukung. Misalnya di Shenzen, perusahaan lokal di sana, telah mampu menyediakan computer-manufacturing companies dengan segala komponennya kecuali chips. Kota itu dengan cepat dan pasti, akan berkembang menjadi global computer-manufacturing center (Xiojuan, 2001).
Cina adalah raksasa yang bangun tidur. Pemikiran strategis Deng yang mengandalkan situasi/kemampuan luar negeri untuk kepentingan Cina (Yangwei Zhongyong), tidak sia-sia. Ketika krisis merontokkan Asia Tenggara dan mereka belum pulih benar, lalu investasi asing hengkang dan segan masuk negara-negara itu. Dengan cepat, investasi asing itu "diundang" Cina.
Mujurnya, momentum itu hampir bersamaan dengan masuknya Cina ke WTO. Negara itu, kini harus mematuhi aturan organisasi perdagangan dunia. Investasi asing pun tidak ragu lagi masuk Cina. Di lain pihak, ketika Asia Tenggara ditinggalkan, Cina malahan "masuk". Hal ini merupakan perwujudan perluasan pengaruh dan hasrat Cina menjadi kekuatan dominan di Asia menggantikan Jepang. Agaknya Cina sudah bosan dalam jajaran flying geese di belakang Jepang.
Bagi Cina, Indonesia merupakan negara terpenting di Asia Tenggara. Perhatian Cina terhadap Indonesia ditunjukkan dengan kedatangan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji ke Jakarta. Di samping merupakan negara terbesar di kawasan ini, Cina juga melirik kekayaan alam Indonesia, terutama minyak, gas dan batu bara. Negara itu agaknya "kehausan". Barang tambang itu merupakan bahan bakar pertumbuhan ekonomi Cina, yang dimotori berbagai perusahaan di dalamnya.
Setelah ditutup tahun 1960-an, Zhu meminta untuk membuka kembali Bank of China (BOC) di Jakarta. Agaknya lengkap sudah, "kaki" Cina telah masuk ke negara-negara berpengaruh di Asia. BOC mulai beroperasi Januari di Manila, dilanjutkan ke Thailand Malaysia, Singapura, Jepang, Vietnam, Korea Selatan dan kini ke Indonesia (FEER, edisi Maret 2002). Indonesia agaknya juga merasa, Cina adalah negara yang penting. Presiden Megawati lalu melakukan kunjungan balasan.
Beberapa tahun terakhir, akses perdagangan Cina ke Indonesia yang mulai terbuka. Hal itu tak disia-siakan. Barang-barang elektronik, peralatan rumah tangga, produk otomotif, serta produk lain, deras masuk ke Indonesia. Terutama yang paling kasat mata, adalah sepeda motor. Bila selama ini produk sepeda motor didominasi Jepang, kini satu dari delapan motor di Indonesia adalah produk Cina. Kini, produk-produk dalam negeri Indonesia pun mulai kewalahan menghadapi produk Cina. Harga produk Cina, jauh lebih ''miring''.
Sementara itu, persaingan produk ekspor Indonesia, juga akan berhadapan dengan Cina. Terutama ekspor tekstil serta garmen. Ekspor komoditas padat karya ini, salah satu penyumbang besar ekspor industri, dan konsentrasi terbesarnya adalah Amerika. Di lain pihak, menurut Naughton, masuknya Cina ke WTO akan meningkatkan ekspor tekstil ke Amerika. Kekuatan Cina itu sulit ditandingi. Dalam bidang tekstil, ia menyumbang seperlima dari total ekspor dunia. Produk tekstil dan pakaian, telah menyumbang sepertiga ekspor Cina dan mengontribusikan surplus perdagangan sejak 1990-an.
Babak Baru Sejarah
Cina dan Indonesia, dengan jumlah penduduk 1,5 milyar manusia, merupakan dua entitas negara yang tak bisa diabaikan. Kerja sama yang erat antara kedua negara itu, merupakan babak baru sejarah. Namun untuk ke depan, tampaknya Indonesia harus mengembangkan relasi yang lebih berkualitas dan saling menguntungkan. Meski kekayaan alam (minyak, gas dan barang tambang lain) bisa terjual ke Cina, namun ekspor itu kurang memiliki nilai tambah dan tidak terbarui. Berbeda dengan produk Cina yang makin lama volumenya makin besar masuk ke Indonesia, seperti otomotif serta elektronika.
Sekitar 30 tahun saling menutup diri, bukanlah waktu yang singkat. Indonesia harus lebih mengenal Cina. Dengan lebih memahami, kita akan lebih tahu kebutuhannya. Dengan demikian, kita bisa melakukan diversifikasi dan diferensiasi ekspor selain barang tambang, misalnya produk pertanian atau yang lainnya. Penduduk 1,3 miliar adalah pangsa pasar yang sangat besar. Selama ini, ekspor kita banyak bergantung pada Amerika, Jepang dan Singapura. Cina kini merupakan alternatif yang potensial.
Wisatawan Cina tahun 2000 mencapai 2,2 juta orang mengunjungi ASEAN, namun cuma 28.000 orang yang masuk Indonesia. Kerusuhan politik yang berbau sentimen rasial Mei 1998, agaknya masih membekas. Beberapa investor Cina yang ingin menanamkan modal di Indonesia, juga masih ragu akibat faktor itu.
Agaknya tembok kecurigaan itu masih tebal, pencarian hubungan harus terus ditindaklanjuti. Bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, namun lebih luas. Karena tipologi negara Cina mirip Indonesia, mungkin kita bisa belajar model pembangunannya, atau bahkan pemberantasan korupsinya. Tapi yang jelas, era globalisasi yang disebut Soedjatmoko "jaringan kompleks interpenetrasi antarbangsa", pertemuan dan interaksi budaya (peradaban) merupakan keniscayaan. Bukan seperti yang "dikhayalkan" secara provokatif oleh Huntington, yaitu terjadinya perbenturan (the clash of civilization).
Bahkan dengan adanya interaksi, maka kepribadian dan kebudayaan bangsa akan dinamis berkembang, serta memperbarui diri. Dalam sejarah, dari penelusuran Rosenberg, terbukti barat maju karena kontribusi budaya Cina, Islam, dan India (How the West Grew Rich, 1986). Interaksi antarkebudayaan yang berbeda, akan mengakibatkan loncatan perkembangan dan kemajuan bangsa.
Pernah dimuat di Suara Pembaruan
Cina saat ini telah jauh berbeda dengan ilustrasi Berger, sebuah negara "tirai bambu" yang sering dikutip sebagai representasi "keburukan" sistem sosialisme (Pyramids of Sacrifice, 1974). Deng Xiaoping, secara radikal telah merombak Cina. Negara itu, tak bisa dikatakan menganut sosialisme lagi. Mimpi Sun, kini mendekati kenyataan.
Dengan penduduk terbesar di dunia, serta volume perdagangan sebesar Rusia, India dan Indonesia yang digabung menjadi satu, Cina menjadi negara yang sangat diperhitungkan di dunia. Batuknya Cina pun, kini bisa membuat negara lain miris. Devaluasi Yuan yang menyebabkan ketidaksempurnaan fungsi pasar dunia, oleh Corsetti, Pesenti dan Roubini, disinyalir merupakan salah satu biang kerok penyebab oleng dan rontoknya negara-negara Asia akibat krisis (Pani, Inclusive Economics, 2001).
Pertahanan terbaik adalah menyerang, kata Licheng pengusaha besar dari Cina. Atau bahasa lebih halus dikatakan Zhu Rongji, going outside strategy. Lalu, sesuai falsafah Sun Zu, penyerangan harus dilakukan cepat (surprise) dan saat musuh lemah. Karena Cina berambisi menjadi dominant power di Asia Tenggara menggeser Jepang dan Amerika, ia tak melewatkan kesempatan emas.
Dengan segera Cina menanam kaki, "menyerang" negara-negara yang belum pulih diterpa krisis itu. Di Asia Tenggara, tahun 1999 investasi Cina sebesar 72 juta dolar AS, setahun kemudian melompat naik 50%, menjadi 108 juta dolar (Far Eastern Economic Review, edisi Maret 2002). Hal itu dilanjutkan dengan rencana pembentukan pasar bebas ASEAN dan Cina.
Derasnya penetrasi Cina ke Asia Tenggara, dibarengi berhasilnya 15 tahun perjuangan yang melelahkan, Cina masuk WTO. Dengan makin terbukanya Cina, kini Asia Tenggara mengalami babakan yang sungguh mendebarkan. Pada sisi optimis, dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan konsumsi 1,3 miliar manusia, Cina bisa menjadi motor pertumbuhan regional. Sisi pesimisnya, keunggulan komparatif yang nyaris sama dan besarnya pasar, akan menghisap investasi asing masuk ke Cina. Negara itu, jauh lebih menggiurkan dan menanrik.
Investasi Colosal
Selama 10 tahun terakhir, menurut statistik UNCTAD, Cina telah menyerap seperlima dari seluruh investasi asing ke negara berkembang. Hampir seluruh perusahaan terkemuka dunia, yang masuk daftar Fortune 500, telah menginvestasikan usahanya ke Cina. Persaingan memperebutkan pasar, juga makin ketat. Pengeluaran Coca Cola untuk promosi dan pemasaran, lebih besar di Cina daripada di Amerika. Nilai investasi asing di Cina sampai Oktober 2000, sebesar 330 miliar dolar AS atau sekitar Rp 3.300 triliun. Investasi kolosal ini cenderung akan naik di tahun-tahun mendatang.
Atas kesadaran jangka panjang, Cina berusaha mengundang investasi asing yang mentransformasikan pengembangan dan inovasi teknologi. Hasilnya tidak mengecewakan. Pada awal kebijakan pintu terbuka, investasi yang masuk terutama industri padat karya, namun lima tahun terakhir industri padat teknologi telah mendominasi. Kini lebih dari setengahnya, perusahaan terkemuka di bidang elektronika, peralatan telekomunikasi, kimia, rekayasa mesin, otomotif, farmasi serta yang lain, merupakan penanam modal asing (PMA). Produk mesin dan elektronika, mulai mendominasi ekspor Cina. Nilainya tahun 1999, mencapai 52% dari total ekspor PMA.
Krisis di Asia telah memberi pelajaran untuk dipacunya usaha swasta, dan didukungnya usaha kecil menengah (UKM). Konglomerasi didukung negara telah gagal. Ini bisa dilihat pada Jepang, Korea Selatan dan Indonesia. Cina agaknya juga memetik pelajaran itu. Kini, UKM yang padat karya itu, siap berhadapan dengan investasi asing. Tantangan selama dua dekade, reformasi dan pintu terbuka, telah memaksa mereka menjadi kompetitif. Di Zhejiang, misalnya, lebih dari 80% perusahaan adalah kecil atau menengah. Namun pelan tetapi pasti, ujar Liu He, mereka akan berkembang menjadi usaha besar dan kompetitif.
Sementara itu di Shanghai, Suzhou, Shenzen, Tianjin serta kota lain, perusahaan multinasional dengan mudah mendapat perusahaan partner pendukung. Misalnya di Shenzen, perusahaan lokal di sana, telah mampu menyediakan computer-manufacturing companies dengan segala komponennya kecuali chips. Kota itu dengan cepat dan pasti, akan berkembang menjadi global computer-manufacturing center (Xiojuan, 2001).
Cina adalah raksasa yang bangun tidur. Pemikiran strategis Deng yang mengandalkan situasi/kemampuan luar negeri untuk kepentingan Cina (Yangwei Zhongyong), tidak sia-sia. Ketika krisis merontokkan Asia Tenggara dan mereka belum pulih benar, lalu investasi asing hengkang dan segan masuk negara-negara itu. Dengan cepat, investasi asing itu "diundang" Cina.
Mujurnya, momentum itu hampir bersamaan dengan masuknya Cina ke WTO. Negara itu, kini harus mematuhi aturan organisasi perdagangan dunia. Investasi asing pun tidak ragu lagi masuk Cina. Di lain pihak, ketika Asia Tenggara ditinggalkan, Cina malahan "masuk". Hal ini merupakan perwujudan perluasan pengaruh dan hasrat Cina menjadi kekuatan dominan di Asia menggantikan Jepang. Agaknya Cina sudah bosan dalam jajaran flying geese di belakang Jepang.
Bagi Cina, Indonesia merupakan negara terpenting di Asia Tenggara. Perhatian Cina terhadap Indonesia ditunjukkan dengan kedatangan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji ke Jakarta. Di samping merupakan negara terbesar di kawasan ini, Cina juga melirik kekayaan alam Indonesia, terutama minyak, gas dan batu bara. Negara itu agaknya "kehausan". Barang tambang itu merupakan bahan bakar pertumbuhan ekonomi Cina, yang dimotori berbagai perusahaan di dalamnya.
Setelah ditutup tahun 1960-an, Zhu meminta untuk membuka kembali Bank of China (BOC) di Jakarta. Agaknya lengkap sudah, "kaki" Cina telah masuk ke negara-negara berpengaruh di Asia. BOC mulai beroperasi Januari di Manila, dilanjutkan ke Thailand Malaysia, Singapura, Jepang, Vietnam, Korea Selatan dan kini ke Indonesia (FEER, edisi Maret 2002). Indonesia agaknya juga merasa, Cina adalah negara yang penting. Presiden Megawati lalu melakukan kunjungan balasan.
Beberapa tahun terakhir, akses perdagangan Cina ke Indonesia yang mulai terbuka. Hal itu tak disia-siakan. Barang-barang elektronik, peralatan rumah tangga, produk otomotif, serta produk lain, deras masuk ke Indonesia. Terutama yang paling kasat mata, adalah sepeda motor. Bila selama ini produk sepeda motor didominasi Jepang, kini satu dari delapan motor di Indonesia adalah produk Cina. Kini, produk-produk dalam negeri Indonesia pun mulai kewalahan menghadapi produk Cina. Harga produk Cina, jauh lebih ''miring''.
Sementara itu, persaingan produk ekspor Indonesia, juga akan berhadapan dengan Cina. Terutama ekspor tekstil serta garmen. Ekspor komoditas padat karya ini, salah satu penyumbang besar ekspor industri, dan konsentrasi terbesarnya adalah Amerika. Di lain pihak, menurut Naughton, masuknya Cina ke WTO akan meningkatkan ekspor tekstil ke Amerika. Kekuatan Cina itu sulit ditandingi. Dalam bidang tekstil, ia menyumbang seperlima dari total ekspor dunia. Produk tekstil dan pakaian, telah menyumbang sepertiga ekspor Cina dan mengontribusikan surplus perdagangan sejak 1990-an.
Babak Baru Sejarah
Cina dan Indonesia, dengan jumlah penduduk 1,5 milyar manusia, merupakan dua entitas negara yang tak bisa diabaikan. Kerja sama yang erat antara kedua negara itu, merupakan babak baru sejarah. Namun untuk ke depan, tampaknya Indonesia harus mengembangkan relasi yang lebih berkualitas dan saling menguntungkan. Meski kekayaan alam (minyak, gas dan barang tambang lain) bisa terjual ke Cina, namun ekspor itu kurang memiliki nilai tambah dan tidak terbarui. Berbeda dengan produk Cina yang makin lama volumenya makin besar masuk ke Indonesia, seperti otomotif serta elektronika.
Sekitar 30 tahun saling menutup diri, bukanlah waktu yang singkat. Indonesia harus lebih mengenal Cina. Dengan lebih memahami, kita akan lebih tahu kebutuhannya. Dengan demikian, kita bisa melakukan diversifikasi dan diferensiasi ekspor selain barang tambang, misalnya produk pertanian atau yang lainnya. Penduduk 1,3 miliar adalah pangsa pasar yang sangat besar. Selama ini, ekspor kita banyak bergantung pada Amerika, Jepang dan Singapura. Cina kini merupakan alternatif yang potensial.
Wisatawan Cina tahun 2000 mencapai 2,2 juta orang mengunjungi ASEAN, namun cuma 28.000 orang yang masuk Indonesia. Kerusuhan politik yang berbau sentimen rasial Mei 1998, agaknya masih membekas. Beberapa investor Cina yang ingin menanamkan modal di Indonesia, juga masih ragu akibat faktor itu.
Agaknya tembok kecurigaan itu masih tebal, pencarian hubungan harus terus ditindaklanjuti. Bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, namun lebih luas. Karena tipologi negara Cina mirip Indonesia, mungkin kita bisa belajar model pembangunannya, atau bahkan pemberantasan korupsinya. Tapi yang jelas, era globalisasi yang disebut Soedjatmoko "jaringan kompleks interpenetrasi antarbangsa", pertemuan dan interaksi budaya (peradaban) merupakan keniscayaan. Bukan seperti yang "dikhayalkan" secara provokatif oleh Huntington, yaitu terjadinya perbenturan (the clash of civilization).
Bahkan dengan adanya interaksi, maka kepribadian dan kebudayaan bangsa akan dinamis berkembang, serta memperbarui diri. Dalam sejarah, dari penelusuran Rosenberg, terbukti barat maju karena kontribusi budaya Cina, Islam, dan India (How the West Grew Rich, 1986). Interaksi antarkebudayaan yang berbeda, akan mengakibatkan loncatan perkembangan dan kemajuan bangsa.
Pernah dimuat di Suara Pembaruan
Comments