Anggota DPD dan Ekonomi Rakyat

Proses untuk menjadi anggota DPD bukanlah hal yang mudah. Agar sah dicalonkan, mereka harus memenuhi jumlah tertentu dukungan, dengan menunjukkan fotokopi KTP para pendukung. Mereka yang berminat menjadi anggota DPD tentunya harus mempunyai ”basis konstituen” yang riil.

Memang sebagian besar pemilih tak terlalu peduli dengan program yang ditawarkan. Mereka lebih percaya pada sosok orang, sebab telah terlalu lama berpengalaman mendapat ”janji surga”. Bagi calon anggota DPD yang dipilih, kepercayaan ini tentu bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Mendapat kepercayaan dari rakyat adalah penghargaan dan kehormatan, yang harus ditebus dengan pelayanan.

Kasus DKI Jakarta adalah kasus yang konkret. Di kota ini akibat arus informasi mengalir begitu cepat, para pemilih relatif mengenal para calon anggota DPD (bila dibanding kota lain). Pada pemilihan ini, ada dua tokoh masyarakat yang sangat dikenal terpilih menjadi anggota DPD, yaitu Mooryati Sudibyo dan Sarwono Kusumaatmaja.

Mooryati dikenal sebagai pengusaha sukses yang mengangkat obat tradisional rakyat (jamu) mendapat tempat bermartabat, serta karya sosialnya membantu meningkatkan perekonomian (terutama) para pedagang jamu.

Sedangkan Sarwono, di samping ketokohannya telah teruji di pemerintahan, beliau pernah menjadi pimpinan Kosti (koperasi taksi). Betapa ”fanatiknya” sopir Kosti, bisa dilihat ketika dengan bersemangat menceritakan kontribusi riil Sarwono pada peningkatan kesejahteraan mereka.

Sektor Ekonomi

RakyatHingga kini, dalam situasi saat ini, hampir 60% penduduk masih rentan untuk kembali ke bawah ambang batas untuk disebut miskin. Sementara itu, angkatan kerja kita meningkat 2,5 juta per tahun. Dan akibat tak tertampung seluruhnya, Bapenas memperkirakan hingga dua tahun ke depan persentase pengangguran terbuka semakin besar (dari 10,1% menjadi 11,2%).

Dan akibat tak bisa terserap sektor formal, angkatan kerja kita kemudian bekerja di sektor informal. Sakernas BPS tahun 2002 juga mengungkapkan bahwa 70% pekerja kita hidup di sektor informal (yang kemungkinan saat ini jauh lebih besar). Maka jelaslah bahwa sebagian besar rakyat kita memang dihidupi dari sektor informal, yaitu menggantungkan pada usaha mikro dan kecil. Inilah yang disebut sektor ekonomi rakyat.

Tetapi, apa yang salah dengan informalitas? Apakah martabat manusia ditentukan dari status formal dan nonformal? Memang harus diakui, akibat status informal sektor ekonomi rakyat mendapat banyak kesulitan. Justru tugas kitalah untuk membantu mereka agar bisa berkembang selayaknya, seperti halnya yang formal. Dan hal radikal justru diungkapkan Marguerite Robinson dari Harvard, ”If the formal cannot absorb the labor force, then why not help the informal enterprises that provide employment?”

Konsistensi

Dalam kasus Mooryati dan Sarwono (sebagai contoh saja), tentu mereka diharapkan konsisten dengan apa yang dilakukannya selama ini. Mereka menghargai potensi yang dimiliki masyarakat dan kemudian mengembangkannya. Rakyat (miskin) sebenarnya tak butuh dikasihani. Yang lebih mereka butuhkan adalah adanya akses dan kesempatan, agar potensi mereka dapat berkembang.

Persoalan aksesibilitas tersebut, juga diungkapkan oleh Amartya Sen (peraih Nobel Ekonomi tahun 1998). Diakibatkan keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan).

Dalam konteks pengembangan ekonomi rakyat, persoalan aksesibilitas ini bukanlah persoalan sederhana. Dalam literatur ilmu ekonomi sering dikatakan sebagai suatu sarana mengambil suatu pilihan, akibat sumber daya (resources) yang terbatas.

Namun dalam praktiknya, ternyata tidak sesederhana itu. Untuk mendapat akses, sebenarnya sering terjadi pertempuran perebutan ruang ekonomi (battle of economic space). Misalnya pasar tradisional yang sudah lama berdiri digusur dan diubah menjadi mal dan pasar swalayan. Usaha mikro dan kecil menjadi makin terpuruk.

Sektor informal ingin dibuang sejauh-jauhnya, namun tanpa memberi alternatif. Padahal menurut Hernando de Soto, aktivitas sektor informal sama sekali bukan penghambat pembangunan. Justru sektor ini merupakan potensi wiraswasta dan mempunyai arti yang amat besar bagi proses pembangunan.

Belas Kasihan

Tantangan terbesar bangsa ini adalah melibatkan sebesar-besarnya partisipasi rakyat, secara layak dan proporsional, agar terlibat dalam proses pembangunan. Rakyat tidak membutuhkan privilese tertentu atau belas kasihan, mereka hanya meminta hak-hak mereka dipenuhi agar bisa berkembang.

Pembangunan bukan hanya persoalan hasil, pembangunan juga persoalan proses. Bila kita terjebak pragmatisme mendapatkan hasil, maka buah keruntuhan akan kita dapatkan. Rontoknya ekonomi Indonesia akibat krisis, memperlihatkan struktur yang rapuh.

Mari kita kembali ke hakikat pembangunan, bahwa pembangunan dimaksudkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Karena itu, jalan untuk mencapai keberhasilan pembangunan justru melalui pengembangan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Artinya, proses yang ditempuh harus konsisten dengan tujuan.

Pembangunan, menurut Soedjatmoko, juga berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom dan berakar dari dinamik sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.

Dan dalam kaitan pengembangan kesejahteraan masyarakat, tak berlebihan bila kita berharap para anggota DPD dapat memperjuangkan secara optimal. Sebab, mereka mengenal masyarakat yang mereka wakili.

Tulisan ini pernah dimuat di Sinar Harapan, bersama dengan "bos"

Comments

Popular posts from this blog

Why Modern Economics Fails Humanity: Insights from Muhammad Yunus

Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (2)

Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (1)