Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (1)
Artikel “Menelaah Secara Jernih Makan Siang Gratis” di Investor Daily (29 Februari-1 Maret 2024) telah mencuri perhatian ratusan ribu pembaca dan beredar luas di berbagai grup WhatsApp serta media sosial. Dari pimpinan pemerintahan, tokoh politik, pengusaha, aktivis, akademisi, hingga masyarakat umum, menyimak tulisan tersebut.
Usulan yang sebenarnya sudah saya sampaikan sejak tahun 2019, akhirnya mendapat sambutan positif secara luas. Program yang juga menjadi unggulan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran, akhirnya dipahami melalui opini panjang dua hari tersebut. Menariknya, banyak pihak yang sebelumnya menentang karena kurang informasi, kini berbalik mendukung.
Tulisan ini adalah lanjutan artikel sebelumnya dan lebih ambisius, yaitu bagaimana menjadikan program makan bergizi gratis, yang sebelumnya disebut makan siang gratis, sebagai fondasi perubahan sosial dan ekonomi yang besar. Mengambil inspirasi dari Marshall Plan yang sukses membangun kembali Eropa, terutama Jerman, setelah Perang Dunia II, Indonesia dapat menerapkan pendekatan serupa dengan kekuatan sendiri.
Marshall Plan, berhasil memulihkan ekonomi Eropa yang hancur dan nyaris tanpa masa depan, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi, dan akhirnya mencapai stabilitas ekonomi serta politik hingga kini. Marshall Plan berhasil karena pendekatannya yang komprehensif dan inklusif, melibatkan berbagai sektor dan memastikan keadilan sosial.
Kita bisa merancang program makan bergizi gratis yang menargetkan pengurangan angka malnutrisi anak sebagai misi nasional. Ini melibatkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, filantropi, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk memastikan program berjalan efektif. Inklusivitas dan keadilan sosial menjadi kunci utama, memastikan semua anak, termasuk yang berada di daerah terpencil dan terpinggirkan, mendapatkan manfaat program.
Dan lebih jauh lagi, pendekatan ini juga menekankan pada inovasi yang berorientasi pada misi dan tujuan besar lain. Ini berarti menetapkan tujuan ambisius namun dapat dicapai yaitu mengurangi malnutrisi anak hingga tingkat sangat rendah, diintegrasikan dengan tujuan dan inovasi besar lain. Ini mencakup menggerakkan dinamika ekonomi masyarakat bawah untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan, menggerakkan pertanian agar tidak sepenuhnya tergantung beras, serta membuatnya lebih tahan pemanasan global. Selain itu, alternatif pengganti susu yang mengurangi risiko intoleransi laktosa yang mencapai lebih dari 70 persen, sekaligus menghemat devisa menggerakkan ekonomi lokal. Lalu, memanfaatkan program untuk mengurangi volatilitas inflasi terutama dari komoditas pangan.
Dampak Ekonomi yang Signifikan
Hingga tahun 2023, program makan di sekolah telah mencakup 418 juta anak di hampir 140 negara, memberikan manfaat luas di berbagai sektor. Program ini mendukung perlindungan sosial melalui transfer pendapatan dan peningkatan keamanan pangan rumah tangga, serta meningkatkan pendidikan dengan mendorong pembelajaran, terutama bagi anak perempuan. Di sektor pertanian, program makan di sekolah memperkuat ekonomi pedesaan dan sistem pangan lokal, meningkatkan kesehatan dan gizi anak-anak dengan pola makan yang lebih beragam, dan menghasilkan pengembalian investasi hingga 9 dolar untuk setiap satu dolar yang diinvestasikan.
Meski studi global sangat meyakinkan, intervensi di negara berpendapatan rendah dan menengah ternyata memiliki dampak yang jauh lebih signifikan. Dari studi di 14 negara yang mencakup 190 juta anak sekolah dengan total anggaran USD 11 miliar per tahun, manfaat tahunan dalam bentuk modal manusia diperkirakan mencapai USD 180 miliar. Manfaat ini termasuk peningkatan kesehatan, gizi, dan pendidikan, serta manfaat perlindungan sosial sebesar USD 7 miliar dan keuntungan bagi ekonomi pertanian lokal senilai USD 23 miliar per tahun.
Rasio manfaat-biaya dari program ini dapat bervariasi antara 7 hingga 35 kali lipat investasi awal, tergantung multiplier effect yang ditimbulkan. Tujuan tulisan ini adalah mengupayakan semaksimal mungkin multiplier effect dari dampak makan bergizi gratis dalam berbagai bidang, termasuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan yang masih mengkhawatirkan.
Ketahanan Pangan, Iklim, dan Politik
Revolusi Hijau, yang dimulai pada tahun 1960-an, membawa perubahan besar dalam produksi pangan di Indonesia dengan meningkatkan hasil panen secara signifikan. Namun, inisiatif ini juga menimbulkan berbagai tantangan baru, seperti ketergantungan pada input kimia, degradasi tanah, dan masalah keberlanjutan pertanian. Dengan sekitar 70 persen air digunakan untuk pertanian, sebagian besar untuk irigasi padi, penerapan varietas padi berproduktivitas tinggi bertujuan mulia untuk mengatasi kelaparan. Namun, tanaman padi sangat boros air dan penyeragaman konsumsi sumber karbohidrat menjadi masalah besar selama fenomena El Niño.
El Niño bahkan turut menyebabkan krisis pangan yang serius di Indonesia dan berkontribusi terhadap berbagai peristiwa politik yang mengguncang sejarah. Selama El Niño 1965-1966, kekeringan parah memperburuk situasi ekonomi dan ketidakstabilan politik, yang berkontribusi pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. El Niño 1972-1973 mengakibatkan kekeringan meluas yang memicu krisis pangan dan ketegangan sosial, berkontribusi pada peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974.
Krisis pangan 1997-1998, dipicu oleh El Niño yang kuat dan krisis moneter Asia, berkontribusi pada jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998. Untungnya, El Niño terakhir pada tahun 2023 bisa diantisipasi, meskipun terjadi lonjakan harga pangan yang sangat tinggi. Selama peristiwa El Niño tersebut, beberapa negara pengekspor beras juga melarang ekspor untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka, memperparah krisis pangan di Indonesia.
Untuk mengatasi krisis pangan di masa kini dan ke depan akibat pemanasan global (global warming) yang beralih menjadi pendidihan global (global boiling), Indonesia perlu memperkenalkan kembali sumber karbohidrat yang lebih tahan terhadap perubahan iklim. Bagaimana konkretnya, baca tulisan bagian II. (Bersambung)
Dimuat di Investor Daily, 6 Juni 2024
Comments