Mewaspadai Kapitalisme Global
Sulit dipungkiri, kenyataan yang bercokol di jagat adalah pertarungan pengaruh. Pertarungan yang menyentuh hal yang paling subtil dalam diri manusia, yaitu kesadaran. Hal ini sangat strategis, sebab seperti yang dikatakan Gramsci “If you can occupy peoples' heads, their hearts and their hands will follow”.
Globalisasi telah mengakselerasi secara intensif dan ekstensif, sebuah homogenisasi pemikiran. Gosovic menyebutnya sebagai global intellectual hegemony.Sekelompok kecil elit yang memiliki sumber daya, jangkauan dan kekuasaan tak terbatas, telah mempengaruhi jagat. Mereka sepakat membangun kerangka konseptual dan paradigma, lalu mengglobalisasikan pemikiran itu. Kesepakatan tersebut dikenal dengan nama “Washington Consensus”. Disebut “consensus” karena merupakan sebuah konstruk atau model tanpa memberikan ruang perdebatan dan partisipasi. Kesepakatan itu dianggap “mantra” atau panacea yang akan memberikan jawaban persoalan dunia.
Di era 1990-an, globalisasi pemikiran tersebut membahana mempengaruhi jagat. Tiba-tiba saja, kita menjumpai keseragaman pemikiran dan analisis dari ekonom yang mempunyai pengaruh kuat di pemerintahan maupun media. Seakan dalam dunia yang sangat majemuk ini, tak ada pilihan lain. Deregulasi, liberalisasi dan privatisasi, dianggap “one fits all”.
Wacana-wacana seperti pemerataan, kemandirian, land reform, eksploitasi, kedaulatan bangsa, dianggap kuno dan tidak relevan. Ketika sebuah negara ngotot di luar koridor “consensus”, maka dituduh tak bersahabat dengan pasar dan merusak kepercayaan investor. Pasar telah berdaulat, menjadi dewa yang berada di atas segala-galanya.
Mainstream ilmu pengetahuan (terutama ekonomi) yang diajarkan di universitas, tiba-tiba bersifat “netral”, positivis dan sangat teknokratis, hanya sebagai intrumen. Sebut saja, misalnya matematika ekonomi (ekonometrika), administrasi bisnis, akuntansi, manajemen, ekonomi neo klasik, berbagai pengetahuan yang hampir tak pernah mempertanyakan paradigma dominan dan status quo. Studi yang lebih komprehensif atau multi perspektif misalnya ekonomi politik atau sosiologi ekonomi, makin sulit ditemui.
“Hegemoni intelektual” tersebut merobohkan intelektualisme yang dibangun dan dikembangkan sendiri oleh negara berkembang. Bagi negara berkembang, sulit membangun argumentasi yang kokoh, akibat kurang didukung sumber daya (resources) software maupun hardware yang memadai. Agaknya hegemoni intelektual tersebut “bertransformasi” menjadi “totalitarianisme intelektual”, sebab telah menggilas “indigenouse intellectual” dan sekaligus menimbulkan “ketergantungan intelektual” berupa data, analisis, dan penjelasan yang telah ada.
Terjadinya pertautan pengetahuan dan kepentingan, sulit disangkal. Ketika sebuah pengetahuan secara konseptual diterima, maka seperangkat nilai, cara berpikir, gaya hidup, merasa dan berselera, akan menjadi model. Dan ia diyakini sebagai preferensi, terhadap realitas kekinian dan harapan masa depan. Artinya, muluslah agenda dan kepentingan yang telah bercokol.
****
Namun janji penyelamatan yang dinubuatkan, ternyata meleset. Kapitalisme global yang dipercaya akan mempercepat pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan, justru mengalami krisis. Kesenjangan, tak pelak merupakan momok mengerikan abad ini.
Noam Chomsky mentaksir 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia, setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah atau 3 milyar manusia. Penelitian Brecher dan Smith bahkan lebih mengejutkan, menurut mereka kekayaan dari 3 orang terkaya di dunia, lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin atau seperempat jumlah total negara di dunia.
Sementara itu, Robert Wade dari London School of Economics mengungkapkan indeks gini dunia (indeks yang menunjukkan tingkat kesenjangan), selama 1988-1993, meningkat 6 persen. Pendapatan 10% penduduk dunia termiskin turun lebih dari seperempatnya, sedangkan populasi penduduk 10 persen terkaya justru meningkat 8%. Dengan lugas Wade lalu mengatakan “…. technological change and financial liberalisation results in the disproportionately fast increase in the number of household at the extreme rich end, without shrinking the distribution at the poor end" (Economist, April 28, 2001).
Curamnya kesenjangan itu, diwarnai pula oleh lautan pengangguran sekitar satu milyar manusia. Sementara bagi para buruh yang telah bekerja, upah mereka tetap saja tak kunjung membaik. Bahkan dengan melajunya waktu, ujar Susan George, upah mereka makin menurun. Rata-rata upah buruh di Amerika tahun 1973 adalah US$ 9 per jam, namun dua puluh lima tahun kemudian upah mereka turun menjadi US$ 8 per jam. Meski demikian, kekayaan perusahaan transnasional akumulasinya makin luar biasa. Dari 100 entitas ekonomi terbesar dunia, menurut Albert, sebanyak 52 entitasnya adalah perusahaan dan bukanlah negara.
Lebih dari 50 tahun lalu, melalui The Great Transformation, Karl Polanyi sebenarnya telah mengingatkan runyamnya keadaan, bila ekonomi hanya mengandalkan mekanisme pasar. Kompetisi didewa-dewakan menjadi etos (virtue), sementara yang lain diyakini akan menjadi baik karena selanjutnya diatur “invisible hand”. Mangkritisi ini, ia lalu mengatakan "To allow the market mechanism to be sole director of the fate of human beings and their natural environment...would result in the demolition of society".
Agaknya evolusi Darwinisme, survival of the fittest, benar-benar akan terjadi. Yang lebih kuat karena memiliki kekayaan, pendidikan tinggi, serta kekuasaan, akan makin berjaya. Sementara bagi yang lemah, miskin, dan pendidikannya rendah, dibiarkan gemetar kelaparan, menggigil dan menggeletukkan gigi di pinggir jalan atau lorong-lorong gelap musim dingin. Namun tak pernah dikritisi bahwa mereka yang lemah dan tak berdaya itu, bukanlah akibat kesalahan mereka sendiri.
*****
Ideologi neo-liberal, kini menghegemoni jagat pikiran global. Ia telah menjadi universal value. Dimulai tahun 1979, Margaret Thatcher merupakan pelaku utama yang merevolusikan ideologi tersebut di Inggris. Untuk justifikasinya, ia menyerukan “There Is No Alernatif” (TINA). Sedangkan di Amerika, aktor utama yang getol adalah Ronald Reagan. Ideologi itu lalu menyebar ke seluruh dunia. Nilai utama dari ideologi neo liberal adalah kompetisi. Entah kompetisi antar bangsa, regio, perusahaan, atau pun antar individu. Kompetisi ini, diyakini akan membawa kebaikan bagi semua.
Namun sayang, sejarah menunjukkan hasil yang berbeda, tak seperti yang diharapkan. Kontrasnya kesenjangan, rusaknya lingkungan, membludaknya pengangguran dan meledaknya kemiskinan, merupakan buah yang harus ditanggung. Di negara maju begitu banyak manusia yang sakit, akibat penyakit kegemukan. Namun di negara Afrika atau negara miskin lainnya, begitu banyak manusia yang gemetar menahan lapar, bahkan menggigil menunggu hingga detik-detik kematiannya. Sebuah kematian yang “hina”, akibat kelaparan.
Melihat realitas yang terjadi, tak mengherankan, berbagai tempat di dunia lalu bergolak. Seattle, Melbourne, Prague, Quebec, Genoa, Argentina, Brasil, Kolombia, Afrika Selatan, Nigeria maupun berbagai tempat lain, dari bermacam-macam kalangan berdemonstrasi menolak ideologi neo liberal yang menyokong liberalisasi dan perdagangan bebas. Aparatus-aparatus utama pendukung utama perdagangan bebas, yaitu IMF, World Bank serta WTO, ditentang habis-habisan.
Perdagangan bebas menuntut dienyahkannya berbagai restriksi, halangan, pajak maupun tarif, sehingga menyebabkan kompetisi sangat ketat. Akibatnya negara dipaksa untuk menurunkan upah buruh, memotong pajak, dan mengabaikan konservasi lingkungan, agar dapat menarik minat investasi masuk ke negaranya. Setiap negara akhirnya dipaksa untuk berpacu hingga titik nadir (the race to the bottom).
Yang mendapat berkah dari perdagangan bebas ini tentu saja adalah para pemodal, terutama multi national corporations (MNC). Bagaikan anak-anak kecil yang membawa mainan, bila keinginan mereka tak dipenuhi di negara tertentu, mereka akan merajuk dan pindah ke negara lain yang lebih menuruti kehendak mereka. Para pemodal tersebut, lalu menangguk keuntungan yang luar biasa besar akibat didapatkannya buruh murah, pajak rendah, ongkos lingkungan dan sosial rendah, dll. Tak mengherankan, bila kekayaan mereka menjadi berlipat-lipat.
Sementara itu, yang setengah mati adalah para pekerja. Agar tetap bekerja, mereka harus merelakan diberi upah yang rendah, sebab para calon pekerja yang lain telah berjubel antri, siap menggantikan. Dalam jagat tanpa batas akibat globalisasi ini, para pekerja dan pencari kerja adalah “migran tanpa tanah air” (workers without frontier). Tak bisa dielakkan, suatu negara yang maju dan lebih makmur, dibanjiri para pencari kerja dari negara yang lebih miskin.
Hal itulah yang bisa menjelaskan, para imigran dan minoritas etnik dijadikan kambing hitam akibat dari sistem globalisasi. Kemenangan (sementara) Le Pen di Perancis yang 38% dari pendukungnya adalah para penganggur, menunjukkan buktinya. Pendukung itu merasa kesempatannya dijarah para imigran, untuk pekerjaan kasar diambil imigran dari Asia atau Afrika, sedangkan untuk sektor teknologi informasi dipenuhi imigran dari India. Dukungan terhadap Pauline Hanson di Australia, yang memimpin partai anti imigran (xenophobia), tak lepas juga disebabkan perasaan tersingkirnya para “pribumi”. Demikian pula mulai munculnya bahaya laten Neo Nazi di Jerman.
Sementara itu, kompetisi yang ketat menimbulkan pertanyaan besar, akan dikemanakan mereka yang kalah ? Misalnya petani Indonesia yang produknya jauh lebih mahal dari Cina atau Vietnam, bagaimana nasib mereka ? Bilamana konsisten tanpa bea masuk, seperti anjuran perdagangan bebas yang diamanatkan neo liberal, lalu bagaimana nasib jutaan petani di Indonesia. Bila terus bertani, jelas rugi besar, bila beralih sektor lain, mereka tak punya skill atau keahlian lain. Namun yang jelas, mereka harus menghidupi keluarganya. Pertanyaan tentang bagaimana nasib mereka yang kalah, terus menggantung.
Neo liberalisme ternyata hanya di desain untuk para pemenang, tak ada tempat bagi yang kalah. Kekalahan artinya eksklusi. Setiap orang dapat tersingkir dari sistem, entah akibat cacat, sakit, hamil, berumur, miskin, buta huruf, dan lain sebagainya. Mereka hanya bisa meratapi dan menyalahkan kelemahan bawaan diri atau lingkungannya.
****
Sementara itu ketidakstabilan keuangan juga akan terus mengancam, setiap negara di dunia harus selalu berdebar-debar, berharap krisis finansial tak menghampirinya. Lebih dari satu setengah trilyun dolar, setiap hari bersliweran tanpa penghalang melintasi berbagai negara akibat tak adanya regulasi keuangan global. Volume uang sebesar itu, terlalu besar bagi sebuah negara untuk diintervensi bila terjadi ketidakseimbangan moneter.
Diawali rontoknya negara-negara Asia secara tiba-tiba akibat krisis moneter, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, ternyata seperti penyakit menular, krisis tersebut merembet ke seluruh dunia. Rusia juga terpuruk, Jepang terbenam dalam resesi, sementara Afrika dan Amerika Latin terperangkap pula dalam krisis finansial. “Buble economy” itu juga meletus di Amerika, dengan penurunan bahkan kontraksi industri manufaktur serta pertanian (Brecher, 2000).
Begitulah, kini dunia dibayangi hantu bahaya serangan ketidakstabilan peredaran finansial global, yang bisa berubah dan berpindah setiap waktu. Dalam sekejap akibat krisis finansial yang disusul krisis ekonomi, akan menyebabkan para pekerja berdasi lalu bangkrut. Mereka terpaksa harus menyampirkan dasinya dan menyingsingkan lengan panjangnya, lalu bekerja kasar seperti yang lainnya. Atau, frustasi mengenang masa lalunya. Hal itu telah terjadi, terutama di Thailand. Bayangan ini akan terus menghantui, seantero negara-negara di dunia.
Ketidakstabilan keuangan akan terus mengancam, setiap negara di dunia harus selalu berdebar-debar, berharap krisis finansial tak menghampirinya. Lebih dari satu setengah trilyun dolar, setiap hari bersliweran tanpa penghalang melintasi berbagai negara akibat tak adanya regulasi keuangan global. Volume uang sebesar itu, terlalu besar bagi sebuah negara untuk diintervensi bila terjadi ketidakseimbangan moneter.
Kapitalisme global telah mengakibatkan krisis yang besar. Kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, hutang, dan ketidakpastian global, terus menghantui. Globalisasi telah mentransfer kekuasaan negara, diserahkan pada korporasi (MNC) yang tak mempunyai mekanisme aturan dan pertanggungjawaban yang jelas. Kompetisi dan hasrat menangguk keuntungan yang sebesar-besarnya atau keserakahan, telah membutakan mereka dari berbagai ekses yang terjadi.
Dan agaknya, kalau semuanya hanya dibiarkan seperti sekarang, dimana mekanisme pasar bebas dan kompetisi dibiarkan begitu saja. Agaknya ramalan Polanyi akan terjadi, realitas dunia akan menuju dan terarah pada "demolition of society".***
Tulisan ini dimuat di Jurnal Ekonomi Rakyat
Globalisasi telah mengakselerasi secara intensif dan ekstensif, sebuah homogenisasi pemikiran. Gosovic menyebutnya sebagai global intellectual hegemony.Sekelompok kecil elit yang memiliki sumber daya, jangkauan dan kekuasaan tak terbatas, telah mempengaruhi jagat. Mereka sepakat membangun kerangka konseptual dan paradigma, lalu mengglobalisasikan pemikiran itu. Kesepakatan tersebut dikenal dengan nama “Washington Consensus”. Disebut “consensus” karena merupakan sebuah konstruk atau model tanpa memberikan ruang perdebatan dan partisipasi. Kesepakatan itu dianggap “mantra” atau panacea yang akan memberikan jawaban persoalan dunia.
Di era 1990-an, globalisasi pemikiran tersebut membahana mempengaruhi jagat. Tiba-tiba saja, kita menjumpai keseragaman pemikiran dan analisis dari ekonom yang mempunyai pengaruh kuat di pemerintahan maupun media. Seakan dalam dunia yang sangat majemuk ini, tak ada pilihan lain. Deregulasi, liberalisasi dan privatisasi, dianggap “one fits all”.
Wacana-wacana seperti pemerataan, kemandirian, land reform, eksploitasi, kedaulatan bangsa, dianggap kuno dan tidak relevan. Ketika sebuah negara ngotot di luar koridor “consensus”, maka dituduh tak bersahabat dengan pasar dan merusak kepercayaan investor. Pasar telah berdaulat, menjadi dewa yang berada di atas segala-galanya.
Mainstream ilmu pengetahuan (terutama ekonomi) yang diajarkan di universitas, tiba-tiba bersifat “netral”, positivis dan sangat teknokratis, hanya sebagai intrumen. Sebut saja, misalnya matematika ekonomi (ekonometrika), administrasi bisnis, akuntansi, manajemen, ekonomi neo klasik, berbagai pengetahuan yang hampir tak pernah mempertanyakan paradigma dominan dan status quo. Studi yang lebih komprehensif atau multi perspektif misalnya ekonomi politik atau sosiologi ekonomi, makin sulit ditemui.
“Hegemoni intelektual” tersebut merobohkan intelektualisme yang dibangun dan dikembangkan sendiri oleh negara berkembang. Bagi negara berkembang, sulit membangun argumentasi yang kokoh, akibat kurang didukung sumber daya (resources) software maupun hardware yang memadai. Agaknya hegemoni intelektual tersebut “bertransformasi” menjadi “totalitarianisme intelektual”, sebab telah menggilas “indigenouse intellectual” dan sekaligus menimbulkan “ketergantungan intelektual” berupa data, analisis, dan penjelasan yang telah ada.
Terjadinya pertautan pengetahuan dan kepentingan, sulit disangkal. Ketika sebuah pengetahuan secara konseptual diterima, maka seperangkat nilai, cara berpikir, gaya hidup, merasa dan berselera, akan menjadi model. Dan ia diyakini sebagai preferensi, terhadap realitas kekinian dan harapan masa depan. Artinya, muluslah agenda dan kepentingan yang telah bercokol.
****
Namun janji penyelamatan yang dinubuatkan, ternyata meleset. Kapitalisme global yang dipercaya akan mempercepat pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan, justru mengalami krisis. Kesenjangan, tak pelak merupakan momok mengerikan abad ini.
Noam Chomsky mentaksir 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia, setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah atau 3 milyar manusia. Penelitian Brecher dan Smith bahkan lebih mengejutkan, menurut mereka kekayaan dari 3 orang terkaya di dunia, lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin atau seperempat jumlah total negara di dunia.
Sementara itu, Robert Wade dari London School of Economics mengungkapkan indeks gini dunia (indeks yang menunjukkan tingkat kesenjangan), selama 1988-1993, meningkat 6 persen. Pendapatan 10% penduduk dunia termiskin turun lebih dari seperempatnya, sedangkan populasi penduduk 10 persen terkaya justru meningkat 8%. Dengan lugas Wade lalu mengatakan “…. technological change and financial liberalisation results in the disproportionately fast increase in the number of household at the extreme rich end, without shrinking the distribution at the poor end" (Economist, April 28, 2001).
Curamnya kesenjangan itu, diwarnai pula oleh lautan pengangguran sekitar satu milyar manusia. Sementara bagi para buruh yang telah bekerja, upah mereka tetap saja tak kunjung membaik. Bahkan dengan melajunya waktu, ujar Susan George, upah mereka makin menurun. Rata-rata upah buruh di Amerika tahun 1973 adalah US$ 9 per jam, namun dua puluh lima tahun kemudian upah mereka turun menjadi US$ 8 per jam. Meski demikian, kekayaan perusahaan transnasional akumulasinya makin luar biasa. Dari 100 entitas ekonomi terbesar dunia, menurut Albert, sebanyak 52 entitasnya adalah perusahaan dan bukanlah negara.
Lebih dari 50 tahun lalu, melalui The Great Transformation, Karl Polanyi sebenarnya telah mengingatkan runyamnya keadaan, bila ekonomi hanya mengandalkan mekanisme pasar. Kompetisi didewa-dewakan menjadi etos (virtue), sementara yang lain diyakini akan menjadi baik karena selanjutnya diatur “invisible hand”. Mangkritisi ini, ia lalu mengatakan "To allow the market mechanism to be sole director of the fate of human beings and their natural environment...would result in the demolition of society".
Agaknya evolusi Darwinisme, survival of the fittest, benar-benar akan terjadi. Yang lebih kuat karena memiliki kekayaan, pendidikan tinggi, serta kekuasaan, akan makin berjaya. Sementara bagi yang lemah, miskin, dan pendidikannya rendah, dibiarkan gemetar kelaparan, menggigil dan menggeletukkan gigi di pinggir jalan atau lorong-lorong gelap musim dingin. Namun tak pernah dikritisi bahwa mereka yang lemah dan tak berdaya itu, bukanlah akibat kesalahan mereka sendiri.
*****
Ideologi neo-liberal, kini menghegemoni jagat pikiran global. Ia telah menjadi universal value. Dimulai tahun 1979, Margaret Thatcher merupakan pelaku utama yang merevolusikan ideologi tersebut di Inggris. Untuk justifikasinya, ia menyerukan “There Is No Alernatif” (TINA). Sedangkan di Amerika, aktor utama yang getol adalah Ronald Reagan. Ideologi itu lalu menyebar ke seluruh dunia. Nilai utama dari ideologi neo liberal adalah kompetisi. Entah kompetisi antar bangsa, regio, perusahaan, atau pun antar individu. Kompetisi ini, diyakini akan membawa kebaikan bagi semua.
Namun sayang, sejarah menunjukkan hasil yang berbeda, tak seperti yang diharapkan. Kontrasnya kesenjangan, rusaknya lingkungan, membludaknya pengangguran dan meledaknya kemiskinan, merupakan buah yang harus ditanggung. Di negara maju begitu banyak manusia yang sakit, akibat penyakit kegemukan. Namun di negara Afrika atau negara miskin lainnya, begitu banyak manusia yang gemetar menahan lapar, bahkan menggigil menunggu hingga detik-detik kematiannya. Sebuah kematian yang “hina”, akibat kelaparan.
Melihat realitas yang terjadi, tak mengherankan, berbagai tempat di dunia lalu bergolak. Seattle, Melbourne, Prague, Quebec, Genoa, Argentina, Brasil, Kolombia, Afrika Selatan, Nigeria maupun berbagai tempat lain, dari bermacam-macam kalangan berdemonstrasi menolak ideologi neo liberal yang menyokong liberalisasi dan perdagangan bebas. Aparatus-aparatus utama pendukung utama perdagangan bebas, yaitu IMF, World Bank serta WTO, ditentang habis-habisan.
Perdagangan bebas menuntut dienyahkannya berbagai restriksi, halangan, pajak maupun tarif, sehingga menyebabkan kompetisi sangat ketat. Akibatnya negara dipaksa untuk menurunkan upah buruh, memotong pajak, dan mengabaikan konservasi lingkungan, agar dapat menarik minat investasi masuk ke negaranya. Setiap negara akhirnya dipaksa untuk berpacu hingga titik nadir (the race to the bottom).
Yang mendapat berkah dari perdagangan bebas ini tentu saja adalah para pemodal, terutama multi national corporations (MNC). Bagaikan anak-anak kecil yang membawa mainan, bila keinginan mereka tak dipenuhi di negara tertentu, mereka akan merajuk dan pindah ke negara lain yang lebih menuruti kehendak mereka. Para pemodal tersebut, lalu menangguk keuntungan yang luar biasa besar akibat didapatkannya buruh murah, pajak rendah, ongkos lingkungan dan sosial rendah, dll. Tak mengherankan, bila kekayaan mereka menjadi berlipat-lipat.
Sementara itu, yang setengah mati adalah para pekerja. Agar tetap bekerja, mereka harus merelakan diberi upah yang rendah, sebab para calon pekerja yang lain telah berjubel antri, siap menggantikan. Dalam jagat tanpa batas akibat globalisasi ini, para pekerja dan pencari kerja adalah “migran tanpa tanah air” (workers without frontier). Tak bisa dielakkan, suatu negara yang maju dan lebih makmur, dibanjiri para pencari kerja dari negara yang lebih miskin.
Hal itulah yang bisa menjelaskan, para imigran dan minoritas etnik dijadikan kambing hitam akibat dari sistem globalisasi. Kemenangan (sementara) Le Pen di Perancis yang 38% dari pendukungnya adalah para penganggur, menunjukkan buktinya. Pendukung itu merasa kesempatannya dijarah para imigran, untuk pekerjaan kasar diambil imigran dari Asia atau Afrika, sedangkan untuk sektor teknologi informasi dipenuhi imigran dari India. Dukungan terhadap Pauline Hanson di Australia, yang memimpin partai anti imigran (xenophobia), tak lepas juga disebabkan perasaan tersingkirnya para “pribumi”. Demikian pula mulai munculnya bahaya laten Neo Nazi di Jerman.
Sementara itu, kompetisi yang ketat menimbulkan pertanyaan besar, akan dikemanakan mereka yang kalah ? Misalnya petani Indonesia yang produknya jauh lebih mahal dari Cina atau Vietnam, bagaimana nasib mereka ? Bilamana konsisten tanpa bea masuk, seperti anjuran perdagangan bebas yang diamanatkan neo liberal, lalu bagaimana nasib jutaan petani di Indonesia. Bila terus bertani, jelas rugi besar, bila beralih sektor lain, mereka tak punya skill atau keahlian lain. Namun yang jelas, mereka harus menghidupi keluarganya. Pertanyaan tentang bagaimana nasib mereka yang kalah, terus menggantung.
Neo liberalisme ternyata hanya di desain untuk para pemenang, tak ada tempat bagi yang kalah. Kekalahan artinya eksklusi. Setiap orang dapat tersingkir dari sistem, entah akibat cacat, sakit, hamil, berumur, miskin, buta huruf, dan lain sebagainya. Mereka hanya bisa meratapi dan menyalahkan kelemahan bawaan diri atau lingkungannya.
****
Sementara itu ketidakstabilan keuangan juga akan terus mengancam, setiap negara di dunia harus selalu berdebar-debar, berharap krisis finansial tak menghampirinya. Lebih dari satu setengah trilyun dolar, setiap hari bersliweran tanpa penghalang melintasi berbagai negara akibat tak adanya regulasi keuangan global. Volume uang sebesar itu, terlalu besar bagi sebuah negara untuk diintervensi bila terjadi ketidakseimbangan moneter.
Diawali rontoknya negara-negara Asia secara tiba-tiba akibat krisis moneter, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, ternyata seperti penyakit menular, krisis tersebut merembet ke seluruh dunia. Rusia juga terpuruk, Jepang terbenam dalam resesi, sementara Afrika dan Amerika Latin terperangkap pula dalam krisis finansial. “Buble economy” itu juga meletus di Amerika, dengan penurunan bahkan kontraksi industri manufaktur serta pertanian (Brecher, 2000).
Begitulah, kini dunia dibayangi hantu bahaya serangan ketidakstabilan peredaran finansial global, yang bisa berubah dan berpindah setiap waktu. Dalam sekejap akibat krisis finansial yang disusul krisis ekonomi, akan menyebabkan para pekerja berdasi lalu bangkrut. Mereka terpaksa harus menyampirkan dasinya dan menyingsingkan lengan panjangnya, lalu bekerja kasar seperti yang lainnya. Atau, frustasi mengenang masa lalunya. Hal itu telah terjadi, terutama di Thailand. Bayangan ini akan terus menghantui, seantero negara-negara di dunia.
Ketidakstabilan keuangan akan terus mengancam, setiap negara di dunia harus selalu berdebar-debar, berharap krisis finansial tak menghampirinya. Lebih dari satu setengah trilyun dolar, setiap hari bersliweran tanpa penghalang melintasi berbagai negara akibat tak adanya regulasi keuangan global. Volume uang sebesar itu, terlalu besar bagi sebuah negara untuk diintervensi bila terjadi ketidakseimbangan moneter.
Kapitalisme global telah mengakibatkan krisis yang besar. Kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, hutang, dan ketidakpastian global, terus menghantui. Globalisasi telah mentransfer kekuasaan negara, diserahkan pada korporasi (MNC) yang tak mempunyai mekanisme aturan dan pertanggungjawaban yang jelas. Kompetisi dan hasrat menangguk keuntungan yang sebesar-besarnya atau keserakahan, telah membutakan mereka dari berbagai ekses yang terjadi.
Dan agaknya, kalau semuanya hanya dibiarkan seperti sekarang, dimana mekanisme pasar bebas dan kompetisi dibiarkan begitu saja. Agaknya ramalan Polanyi akan terjadi, realitas dunia akan menuju dan terarah pada "demolition of society".***
Tulisan ini dimuat di Jurnal Ekonomi Rakyat
Comments