Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan
Indonesia kini berada dalam episode krusial sejarah menentukan masa depan, karena memiliki risiko kehilangan dua bonus demografi secara permanen akibat kondisi kesehatan yang buruk. Sangatlah tepat Presiden Joko Widodo bertekat mewujudkan sumber daya manusia sehat dan cerdas di pidato kenegaraan, namun ini bukan perkara mudah karena perubahan budaya dan tantangan ekonomi-politik mesti dihadapi. Memang benar terobosan, inovasi, strategi dan cara-cara baru diperlukan seperti disampaikan presiden, namun lebih dari itu keberanian politik juga sangat dibutuhkan.
Meski Indonesia akan masuk kategori negara upper-middle income country tahun
depan, namun negeri ini masih menghadapi persoalan berat malnutrisi. Bahkan,
Indonesia mungkin akan menjadi satu-satunya negara berpendapatan menengah atas
yang masih mengalami persoalan gizi begitu buruk. Satu dari tiga balita di
Indonesia mengalami stunting karena kekurangan gizi secara kronis. Bahkan, di
provinsi tertentu seperti Nusa Tenggara Timur sedemikian parah, hampir satu
dari dua balita mengalami stunting.
Stunting bukan hanya masalah kesehatan, namun juga persoalan kemanusiaan.
Malnutrisi di usia dini merampas masa depan manusia. Kekurangan gizi apalagi
sejak di kandungan menyebabkan brain development terganggu. Lebih dari
sejuta jaringan kompleks neuron yang membangun koneksi di otak setiap detik,
menjadi bermasalah. Stunting membuat kemampuan otak berpikir maupun fisik
manusia terhambat, serta rentan sakit.
Disebabkan brain development bermasalah, kemampuan sophistikasi
untuk proses berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill) melalui
loncatan listrik miliaran neuron dan triliunan koneksi sinapsis (sibernetika
otak) menjadi bermasalah. Inilah mengapa penderita stunting sering disebut
sebagai “generasi yang hilang” (lost generation) karena terancam
memiliki masa depan suram disebabkan kemampuan berpikir lemah dan mudah sakit.
Mengingat penderita stunting kebanyakan dari keluarga pendapatan terbawah,
stunting juga berpotensi mengekalkan kemiskinan dan memperburuk kesenjangan
akibat “terpelanting” dari kompetisi kehidupan.
Dua Bonus Demografi
Selain persoalan stunting, ada indikasi yang makin memperburuk keadaan.
Kematian tragis lebih dari 500 orang petugas pemilu dan belasan ribu lainnya
sakit terjadi merata di seluruh Indonesia, ini mengindikasikan status kesehatan
buruk. Riwayat penyakit dan beban kerja sangat tinggi, ditemukan Universitas
Gadjah Mada (UGM) dan Kementerian Kesehatan menjadi kombinasi fatal penyebab
kematian.
Kemenkes mengidentifikasi 13 riwayat penyakit penyebab kematian,
diantaranya serangan jantung, gagal jantung, kegagalan organ hati, stroke, hipertensi
emergency, respiratory failure, asma, diabetes melitus, gagal
ginjal, TBC, dan kegagalan multiorgan. UGM juga berkesimpulan problem
kardiovaskuler, entah jantung, stroke atau gabungan dari jantung dan stroke
menjadi penyebab kematian. Lebih mengejutkan lagi, rata-rata usia petugas
pemilu yang meninggal relatif belum tua yaitu 43 tahun dan termuda 19 tahun.
Kematian petugas pemilu adalah fenomena gunung es status kesehatan Indonesia
yang buruk. Penyakit penyebab kematian di Indonesia kini juga telah bergeser
pada penyakit tidak menular. Lebih dari sekedar fiskal yang terancam “jebol”
akibat menanggung biaya kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan, angka kesakitan tinggi juga menyebabkan produktifitas dan
daya saing bangsa terhambat.
Lebih memprihatinkan lagi bila merujuk data World Population Review
terakhir, meski terjadi peningkatan angka harapan hidup namun posisi Indonesia ternyata
masih lebih rendah dari Bangladesh dan Korea Utara. Ini sungguh tragis, usia
harapan hidup penduduk Indonesia lebih pendek dari negara dengan pendapatan
jauh lebih rendah, selain itu juga “ditemani” penyakit berkepanjangan.
Terjadinya stunting dan penduduk yang sakit-sakitan mengancam hilangnya dua
bonus demografi sekaligus. Bonus demografi pertama adalah kondisi ketika
penduduk usia muda proporsinya lebih tinggi dari usia tua. Namun, akan terjadi
bonus apabila penduduk usia muda tersebut sehat, produktif dan kompetitif.
Stunting jelas akan mengaborsi bonus tersebut.
Bonus demografi kedua terjadi di era “generasi perak” (silver generation),
saat jumlah penduduk lansia melampaui penduduk usia muda. Namun, bonus juga
akan terjadi ketika penduduk lansia tersebut masih tetap sehat dan produktif di
masa “ekonomi perak” (silver economy). Bila syarat mencukupi tidak
terpenuhi pada kedua bonus tersebut, maka yang terjadi justru bencana demografi
(demographic disaster) karena generasi yang seharusnya menjadi harapan
justru menjadi beban.
Perkawinan Anak
Bagi keluarga miskin, perkawinan anak seringkali menjadi mekanisme untuk
melepaskan beban kemiskinan. Selain itu, di banyak daerah juga terdapat budaya
bila perempuan di usia kurang dari 18 tahun belum berkeluarga dianggap “tabu”.
Padahal, pernikahan usia dini menjadi pintu gerbang awal pemicu stunting karena
kondisi ekonomi belum siap dan tingkat pengetahuan yang kurang memadai tentang
kesehatan bayi serta anak.
Perkawinan dini beresiko melahirkan kemiskinan baru, terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, perceraian dan bahkan kematian ibu melahirkan karena sistem
reproduksi belum siap. Ironisnya, di jaman makin modern dengan berbagai
disrupsinya, perkawinan anak di usia 15 tahun ke bawah justru meningkat di
tahun 2018. Sungguh tragis.
Perkawinan anak juga beresiko menghilangkan dua generasi. Generasi pertama
adalah kedua anak yang menikah, terutama pada anak perempuan. Generasi kedua
adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dari nilai PISA, sejalan
dengan prestasi akademik di sekolah, kemampuan anak perempuan dalam matematika
dan membaca jauh lebih baik dari anak laki-laki. Perkawinan anak berisiko merebut
masa muda dan produktif anak perempuan secara dini untuk mengurus anak dan
melayani suami dalam budaya patriarki.
Anak yang dilahirkan dari perkawinan dini disamping beresiko stunting juga
tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dari ibu yang berdaya.
Salah satu kunci keberhasilan anak sangat ditentukan kemampuan ibu, karena
seorang ibu adalah penjamin gizi, kesehatan dan pendidikan anak. Tak
mengherankan bila sering diungkapkan “Educate a man, you educate a man. You
educate a woman, you educate a generation. Empowering women means
empowering the nation”. Secara global mengakhiri perkawinan anak dikalkulasi
akan meningkatkan ekonomi dunia sebesar 4 triliun dolar, atau 5 triliun dolar
bila ditambahkan mengatasi kelahiran dini hingga 2030.
Keluarga Berencana Telenovela
Selama ini, advokasi perkawinan anak lebih banyak difokuskan pada regulasi
untuk mengatur usia minimal perkawinan.
Tentu saja hal ini sangat penting, namun belum cukup karena belum menyentuh
dari sisi budaya yang berpandangan perkawinan dini adalah hal biasa. Mengambil
inspirasi di beberapa negara Amerika Latin, mereka menggunakan media film
(telenovela) untuk merubah budaya dan cara pandang (world view) tersebut.
Meski tanpa ada program pemerintah untuk keluarga berencana (family
planning), Brazil berhasil melakukan pengendalian kelahiran dari rata-rata
setiap keluarga memiliki 6 anak tahun 1960-an menjadi hanya 2 anak tahun
2000-an. Telenovena menampilkan citra positif keluarga kecil, perempuan karir, mapan
dan bahagia, dibandingkan keluarga miskin, anak banyak, tidak atau kurang
bahagia dan tinggal di pemukiman kumuh dengan berbagai dramatisasi yang
mengharu biru.
Telenovela berhasil merebut hal yang paling subtil dari manusia, yaitu
kesadaran (conciousness) tentang pentingnya menunda kelahiran atau
pernikahan dini, serta jumlah anak. Budaya di Meksiko tahun 1970-an yang
mengasosiasikan kejantanan (machoism) dengan banyak anak pun berangsur
lenyap karena telenovela. Education entertaintment atau edutaintment
telenovela bukan hanya tentang family planning, namun kini juga telah merambah
memberikan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan lingkungan.
Sebuah tayangan sinetron televisi di India yang menampilkan pernikahan anak
membuat kemarahan publik dan langsung dipetisi 50 ribu orang dalam waktu 48 jam,
akhirnya sinetron tersebut dihentikan tayang. Sebaliknya di Indonesia, sebuah
sinetron tentang masih kecil jadi “manten” justru mendapat penghargaan sinetron
terfavorit dan tayang hingga ratusan episode karena mempunyai rating penonton
yang bagus. Sungguh luar biasa republik ini.
Seandainya para produser film Indonesia belum mampu membuat tayangan yang
mendidik, paling tidak janganlah membuat konten yang menyesatkan. Media hiburan
yang permisif atau bahkan mendorong perkawinan anak, perlu dihentikan. Sensor
televisi kini hanya sibuk membuat blur bagian dianggap sensitif yang
justru membuat hal tersebut malahan menjadi perhatian, namun tidak
memperhatikan konten yang menyesatkan masyarakat.
Revolusi Kehidupan
Peraih Nobel ekonomi Robert Fogel membuat studi yang ambisius tentang
kelaparan dan kematian prematur manusia sejak tahun 1700. Sangat mencengangkan
angka harapan hidup tahun 1800 di Perancis hanya 33 tahun dan Inggris hanya 36
tahun. Angka harapan hidup meningkat dramatis 30 tahun sepanjang 1900-1990 di Inggris
dan Perancis menjadi 76 tahun. Kualitas nutrisi dan revolusi status kesehatan
memiliki pengaruh sangat besar. Angka harapan hidup Indonesia kini 71 tahun,
ini telah dicapai Jepang tahun 1970 dan China awal 1990. Kini, rata-rata penduduk Indonesia akan mati
15 tahun lebih dahulu dari penduduk Jepang.
Investasi nutrisi yang diberikan terutama pada 1.000 hari pertama sejak
dikandung adalah kunci kehidupan manusia selanjutnya. Sebuah riset di
Kopenhagen menyebutkan, dari setiap investasi nutrisi yang diberikan, maka
“tingkat pengembalian” investasi mencapai 45 kali lipat. Peraih hadial Nobel
ekonomi lain James Heckman, juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. Semakin
awal investasi pada usia dini, semakin tinggi tingkat pengembalian. Makin
terlambat investasi manusia, makin rendah tingkat pengembalian. Artinya, bukan
hanya soal moral dan kemanusiaan, investasi manusia dari awal juga sangat
penting dalam pembangunan ekonomi.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana memberikan nutrisi yang baik pada
keluarga yang miskin atau berpendapatan rendah. Penelitian lapangan penulis di
beberapa desa di Jawa, membuat hati pedih. Sangat jamak dijumpai, selama
beberapa minggu keluarga berpendapatan rendah seringkali tidak makan daging
atau buah. Ini berarti, kemungkinan kualitas nutrisinya buruk.
Revolusi Nutrisi Ibu dan Balita
Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki tingkat stunting paling tinggi, namun
provinsi tersebut berpotensi menjadi contoh intervensi mengatasi stunting yang
efektif. Provinsi tersebut kini menggalakkan penanaman daun kelor untuk
mengatasi stunting. Di beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin, sejalan
saran badan kesehatan dunia (WHO), juga menjadikan kelor menjadi sarana
mengatasi malnutrisi, karena sangat mudah ditanam dan memiliki kualitas nutrisi
begitu hebat.
Esensi dari apa yang dilakukan NTT, perlu dilakukan pula di wilayah lain.
Tumbuhan atau budidaya hewan yang telah ada di daerah tersebut dan bernutrisi
tinggi, perlu dikembangkan menjadi konsumsi. Keluarga mendapat gizi yang baik
dari pekarangan sendiri. Bahkan, ini perlu dimulai sebelum terjadinya
pembentukan keluarga. Di Temanggung, pasangan yang akan menikah diwajibkan
menebar benih ikan di sungai. Ini sangat baik, namun lebih baik lagi kalau ikan
dipelihara sendiri.
Menanam kelor atau memelihara ikan, terutama di desa, perlu diwajibkan pada
pasangan yang akan menikah. Tidak harus kelor sebenarnya, namun bisa tumbuhan
lain yang bernilai gizi tinggi di daerah terkait dan cepat tumbuh. Ikan yang
dipelihara juga ikan murah, gampang pemeliharaan, cepat berkembang biak namun bergizi
tinggi, misalnya lele atau belut. Kedua ikan tersebut nilai nutrisinya tidak
kalah dengan salmon. Belut gampang dibudidayakan, hanya butuh wadah drum atau
terpal dan lumpur. Makanan yang diberikan hanyalah daun-daun kering dan sisa
makanan rumah tangga.
Lele dan belut mempunyai nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh
kembang anak. Nutrisi belut dinilai lebih tinggi dari telur atau susu sapi.
Disamping lebih murah dan sehat, konsumsi ikan juga lebih ramah lingkungan
karena berdampak emisi yang lebih rendah dari daging. Berdasar nilai protein
yang sama didapatkan, daging sapi menghasilkan emisi 10 kali lebih besar dari
ikan.
India melakukan “revolusi toilet” dengan mewajibkan pasangan yang akan
menikah memiliki toilet. Indonesia perlu melakukan “revolusi nutrisi” dengan
membudidayakan pangan bernutrisi di pekarangan sendiri. Ini berarti beberapa
bulan setelah menikah, calon ibu sudah mendapat nutrisi yang baik untuk bayi
dalam kandungan. Lalu, setelah melahirkan akan memberikan makanan bayi paling
berkualitas, yaitu air susu ibu yang mencukupi. Dari sini, akan diperoleh bayi
atau balita yang sehat dan cerdas karena mendapat kecukupan gizi paling tidak
pada 1000 hari pertama.
Revolusi Nutrisi Anak
Langkah lebih lanjut dari revolusi gizi, anak-anak pada kategori pendidikan
usia dini (PAUD), taman kanak-kanak dan sekolah dasar di desa-desa, perlu
mendapatkan makan gratis. Makanan yang diberikan adalah makanan yang bernutrisi
yang berasal dari desa tersebut. Beberapa superfood lokal yang bisa
disediakan misalnya ikan, telur, sorgum, telur, kacang hijau, tauge, alpukat
atau buah lainnya.
Dana desa perlu dialokasikan pula untuk perbaikan nutrisi anak-anak. Ini
berarti ada dua hal yang bisa didapat, status gizi maupun kesehatan anak
meningkat dan ekonomi desa juga berkembang. Tidak perlu inferior, program makan
gratis pada anak di sekolah juga dilakukan di negara maju seperti Inggris
sekalipun, terutama pada keluarga berpendapatan rendah.
Siapa tidak kenal Popeye? Sang pelaut kerempeng bertenaga super dengan otot
kekar menggelembung setelah makan bayam dan menaklukkan Brutus yang berbadan
raksasa. Meski kaya nutrisi, bayam kurang disukai anak karena rasanya dianggap
tidak enak. Di Amerika, Popeye segera membuat bayam menjadi makanan favorit ketiga
setelah kalkun dan es krim.
Film kartun Popeye memang sengaja diproduksi untuk mengatasi persoalan
berat malnutrisi anak tahun 1920-an di Amerika untuk merubah pola makan anak. Popeye
bahkan juga menyelamatkan petani sayur dari Great Depression 1930-an,
karena penjualan sayur meningkat signifikan. Inspirasi Popeye perlu diambil, mempengaruhi
alam bawah sadar melalui hiburan mendidik membangun budaya sehat dan sekaligus
menggerakkan ekonomi, apalagi mengingat konsumsi sayur per kapita Indonesia
begitu rendah.
Panduan Nutrisi
Untuk kebutuhan nutrisi bagi masyarakat secara umum, Indonesia tidak
memiliki panduan memilih makanan yang memadai. Panduan makanan justru berasal
dari iklan, terutama televisi. Mungkin belum lenyap dari ingatan tentang
kontroversi iklan susu kental manis. Telah puluhan tahun susu kental manis
menjadi andalan jutaan orang di Indonesia untuk mengkonsumsi susu.
Seperti disambar geledek, tiba-tiba Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa
susu kental manis bukanlah produk susu bernutrisi. Minum “susu” secara teratur
dari produk susu kental manis, bukannya kesehatan yang didapat namun justru
beresiko terkena diabetes dan obesitas, karena kadar gulanya sangat tinggi. Sungguh
“kebangetan”, ketersesatan persepsi bisa terjadi selama puluhan tahun.
Produk susu kental manis hanyalah salah satu contoh, kemungkinan cukup
banyak produk minuman atau makanan lain yang diiklankan menyehatkan atau
bernutrisi, namun justru bisa merusak kesehatan terutama bila berlebihan atau dikonsumsi
balita dan anak. Konsumen Indonesia tidak biasa memeriksa kandungan nutrisi
produk makanan atau minuman. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk memberikan
panduan, bukan hanya dari iklan?
Di beberapa negara maju, panduan nutrisi (star nutrition rating)
pada produk makanan atau minuman dibuat dengan sangat mudah melalui tanda
bintang. Tanpa perlu memeriksa nutrition facts yang rumit, konsumen
hanya perlu melihat tanda bintang. Semakin banyak tanda bintang, artinya
kandungan nutrisinya makin baik. Dampak pemberian tanda label bintang memang
tidak sangat signifikan menaikkan penjualan makanan yang bernutrisi, misalnya
di Amerika, namun konsumen cenderung menolak membeli produk makanan dengan
jumlah bintang sedikit atau bernutrisi rendah.
Star nutrition rating perlu dipertimbangkan
diterapkan di Indonesia, supaya panduan konsumen bukan hanya dari iklan
(televisi) yang memang sekedar ditujukan meningkatkan penjualan dengan
mencitrakan keunggulan. Selain itu, khusus untuk produk pangan yang
difortifikasi perlu mendapat tanda bintang emas (gold star rating).
Fortifikasi adalah metode menitipkan senyawa penting yang diperlukan manusia
pada produk pangan untuk meningkatkan nilai gizi dan mengatasi hidden hunger.
Hidden hunger adalah bentuk kelaparan (defisiensi) zat
mikro berupa kekurangan zat besi, yodium, asam folat, vitamin A dan beberapa
jenis vitamin B. Hidden hunger memiliki dampak serius, karena tidak kelihatan
dari luar namun begitu bermasalah karena membuat penderitanya mudah sakit.
Fortifikasi adalah cara paling efisien dan efektif untuk menjangkau masalah hidden
hunger pada masyarakat berpendapatan rendah, karena kurang mampu membeli
makanan berkualitas dan variatif. Fortifikasi biasanya dilakukan pada produk
yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, misalnya minyak goreng (vitamin A)
atau garam (yodium).
Panduan produk makanan yang ada selama ini hanyalah label “halal”, namun
belum menyentuh pada kualitas makanan. Sistem star nutrition rating diharapkan
akan mampu mendorong industri makanan memproduksi makanan yang sehat dan
terjangkau. Di sisi lain, masyarakat juga perlu dipandu dan diarahkan untuk
membudayakan mengkonsumsi makanan yang bernutrisi, sehingga akan lebih sehat
dan produktif.
Budaya Mager
Di kalangan milenial, kini berkembang istilah mager atau malas
gerak. Bukan hanya di milenial, istilah ini ternyata memang merepresentasikan budaya
masyarakat pada umumnya. Dari analisis aplikasi pemantau aktivitas, penduduk
paling malas bergerak sedunia adalah orang Indonesia. Rata-rata penduduk dunia
berjalan kaki 5.000 langkah per hari, orang Indonesia hanya 3.513 langkah per
hari.
Analisis tersebut juga menemukan, negara yang malas bergerak penduduknya
maka cenderung besar pula tingkat obesitasnya. Meski obesitas pada anak belum
sebanyak orang dewasa, namun perkembangannya begitu cepat dan mengkhawatirkan.
Indonesia bersama China dan Brazil adalah negara-negara yang paling
mengkhawatirkan karena kecepatan peningkatan anak obesitas mencapai tiga kali
lipat. Secara paradoks, Indonesia kini mengalami double burden malnutrition
yaitu malnutrisi karena kekurangan dan kelebihan gizi sekaligus. Kurangnya
gerak dan kelebihan gizi adalah kombinasi sempurna timbulnya obesitas dan
penyakit.
Memang belum ada riset secara khusus tentang dampak ekonomi budaya mager
atau physical inactivity di Indonesia, namun berkaca dari riset
ekstensif di dunia oleh Lancet dan secara khusus di Eropa melalui International
Sport and Culture Association (ISCA), dampaknya sangat besar. Physical
inactivity sangat berkorelasi dengan penyakit tidak menular antara lain
jantung, stroke dan kanker. Inactivity berkontribusi menyebabkan 500 ribu
kematian melalui kesakitan dan mempunyai dampak ekonomi lebih dari 1.200
triliun rupiah di Eropa.
Keaktifan bergerak memiliki dampak yang sangat besar, ini bisa dilihat
negeri Belanda. Negara kincir angin mempunyai populasi sepeda melampaui jumlah
penduduknya. Manfaat kesehatan aktif bersepeda di negeri kincir angin itu
setara dengan 3 persen PDB, mencegah 6.500 kematian per tahun dan memperpanjang
usia 1,5 tahun. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengupayakan agar penduduk
Indonesia lebih aktif bergerak.
Agaknya kita perlu meniru Berlin yang berpenduduk kurang dari 4 juta dan mendorong
budaya bergerak sejak usia dini dengan menyediakan hampir 4.000 taman bermain
anak. Tidak sembarangan membuat taman bermain karena ada standar keamanan dan
persyaratan tertentu agar membuat anak bergerak, berinteraksi, melatih fisik,
keberanian dan kesabaran (budaya antri). Panjat besi model bola dunia, panjat
tambang, perosotan, kuda goyang, ayunan dan jungkat-jungkit banyak dijumpai
pada setiap sudut wilayah di Jerman. Selain menjadi sarana berinteraksi juga
bagi para orang tua anak, mereka juga didorong berjalan karena taman bermain tidak
terlalu jauh dari pemukiman (within walking distance) atau dalam hutan
kota.
Transportasi publik yang baik dan area pedestrian yang lapang, bersih,
terang dan aman di waktu malam juga menjadi kunci masyarakat bergerak. Transportasi
publik yang memadai telah lama diabaikan di Indonesia, bahkan di ibukota
negara. Bila tak siap mental untuk tergencet, jangan pernah mencoba kereta
listrik (KRL) Jakarta-Bogor, Jakarta-Bekasi apalagi Jakarta-Cikarang pada jam
berangkat atau terutama pulang kerja.
Jalur double double track
(DDT) Jakarta-Bekasi yang hanya meletakkan rel besi diatas tanah kurang dari 17
km dari tahun 2001 hingga saat ini belum selesai, nyaris 20 tahun. Bandingkan
dengan Daendels yang membuat jalan Anyer-Panarukan dengan membabat hutan dan
melewati bukit sepanjang 1.000 km hanya butuh waktu setahun. Akibat
transportasi publik yang buruk sekitar Jabodetabek, puluhan ribu motor dan
mobil membanjiri Jakarta. Tak mengherankan bila Jakarta kini menjadi kota
paling terpolusi di dunia. Apakah Daendels perlu dihidupkan lagi?
Budaya Merokok
Selain physical inactivity, budaya lain yang paling merusak
kesehatan adalah merokok. Budaya ini bertanggungjawab berdampak pada lebih dari
30 penyakit terutama kanker, stroke dan jantung. Bukan hal mengherankan sebuah
riset menunjukkan kerugian ekonomi Indonesia akibat budaya ini mencapai Rp 600
triliun pada tahun 2015 atau 4 kali lipat dari penerimaan cukai rokok di tahun
yang sama. Kerugian terutama akibat biaya kesakitan dan tahun produktif hilang
karena kematian dini itu meningkat 63 persen dari dua tahun sebelumnya (Kosen,
2018).
Indonesia adalah surga para perokok karena murah dan mudah dijangkau.
Jumlah perokok di negeri ini terus melesat dan menjadi konsumen rokok terbesar
ketiga dunia. Bahkan memecahkan rekor dunia, kini sekitar 70 persen laki-laki
dewasa Indonesia adalah perokok. Yang jauh lebih merisaukan lagi, selama 8
tahun (2005-2013) perokok berusia 10-14 tahun meningkat hampir 10 kali lipat. Tahun
2014, remaja usia 13-15 tahun sekitar 20 persen adalah perokok aktif dan
remajaaki mencapai 35 persen.
Hal yang lebih mengenaskan terjadi pada balita yang memiliki orang tua
perokok. Disamping berpotensi menjadi korban perokok pasif, riset memperlihatkan
balita tersebut memiliki kecenderungan besar mengalami stunting (Dartanto,
2018). Seperti dijelaskan di depan, stunting menggerus kemampuan kognitif dan
kapabilitas manusia. Artinya, nilai kalkulasi kerugian Rp 600 triliun akibat
konsumsi rokok sebenarnya terlalu konservatif. Perilaku merokok telah menjadi
tsunami senyap (silent tsunami) kesehatan dan kerugian fiskal yang
dahsyat.
Disamping kenaikan harga rokok untuk melindungi kesehatan sekaligus meningkatkan
pendapatan negara, salah satu hal paling moderat mengendalikan konsumsi rokok
adalah melarang iklan rokok. Pelarangan ini tidak akan mengurangi jumlah
konsumsi rokok, namun terutama hanya membatasi anak mulai merokok. Industri
rokok padat karya skala kecil dan menengah justru akan lebih diuntungkan karena
sebelumnya tak bisa bersaing membuat iklan. Petani tembakau Indonesia juga
diuntungkan karena industri kecil dan menengah tersebut bisa dipastikan akan
mengkonsumsi produksi mereka.
Pelarangan iklan juga berpotensi mengurangi defisit perdagangan. Luas lahan
pertanian tembakau tidak mengalami perubahan berarti sejak 1995, namun produksi
rokok telah meningkat hampir dua kali lipat dari sekitar 180 miliar dan kini lebih
dari 300 miliar batang per tahun. Selisih kebutuhan tembakau tersebut diimpor
terutama oleh perusahaan rokok besar dan modern yang cenderung padat modal,
bukan padat karya. Kini, hampir 1 miliar batang rokok setiap hari dihisap
sekitar 70 juta penduduk Indonesia.
Larangan iklan rokok terutama di televisi telah dilarang hampir 50 tahun
lalu di negara Eropa Barat. Di Asia, Singapura yang sangat memperhatikan SDM
juga melarang di waktu yang sama. Kini semua negara ASEAN telah melarang total
iklan rokok terutama di televisi, kecuali Indonesia. Masyarakat, terutama
anak-anak, dikepung berbagai iklan rokok di televisi, radio, luar ruang, media
cetak dan elektronik yang mencitrakan bahwa rokok adalah simbol setia kawan, cool,
keren, jantan, mengikuti jaman dan modis..
Tahun 2009 terjadi salah satu skandal politik terbesar, karena ayat yang
menyatakan tembakau sebagai zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan tiba-tiba
hilang ketika akan dijadikan lembaran negara. Implikasinya, zat adiktif tidak
diperbolehkan diiklankan. Akibat ketahuan, ayat lalu dikembalikan. Namun iklan
rokok tetap bebas, karena kemudian dimoderasi melalui regulasi-regulasi lain.
Pengendalian rokok sangatlah sulit di Indonesia karena bisnis yang bernilai
fantastis ratusan triliun ini tampaknya memiliki jejaring sosial-politik begitu
luas dan lobi sekuat Goliat.
Penutup
Pembangunan manusia secara fundamental melalui sektor kesehatan tidak bisa
lain mesti dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan budaya hidup sehat. Namun,
untuk mentransformasikan pada budaya sehat sangat diperlukan peran pemerintah
melalui kebijakan dan regulasi dengan arah politik kesehatan yang jelas. Kesehatan
dengan berbagai turunannya, salah satunya pangan, adalah komoditas ekonomi
raksasa yang sangat menggiurkan. Kebijakan dan regulasi adalah pertarungan
politik dari berbagai kepentingan. Namun dengan arah politik kesehatan tegas bahwa
kepentingan publik yang utama, maka ia seharusnya mampu mengatasi segala
kepentingan.
Faktor kepemimpinan dan determinasi sangat diperlukan untuk menjalankan
visi kesehatan yang besar dan kini bangsa ini berada di ujung pergantian pemerintahan.
Terlepas siapapun yang dipilih, Indonesia membutuhkan menteri kesehatan yang
tidak hanya mengurusi orang sakit, namun terutama mencegah supaya orang tidak
sakit. Negeri ini juga memerlukan menteri pertanian yang bukan hanya sekedar
memastikan kecukupan pangan, namun memastikan pangan tersebut bernutrisi
memenuhi gizi bangsa dan sebisa mungkin dari produksi dalam negeri. Menteri
terkait informasi dan kebudayaan juga perlu berspektif kuat membangun budaya
sehat.
Bangsa ini juga sangat memerlukan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
yang mempunyai ketegasan memastikan produk yang dikonsumsi masyarakat makanan
bernutrisi, sehat dan aman. Selain itu kontrol dari masyarakat juga sangat
dibutuhkan melalui lembaga konsumen yang kuat kapasitasnya, bahkan bila perlu
mendapatkan fasilitas laboratorium penguji kandungan dan keamanan makanan. Indonesia
kini sudah masuk dalam negara pendapatan menengah, problem keterbatasan akses
relatif bisa diatasi, termasuk akses pangan, kini fokus kita adalah peningkatan
kualitas.
Hal lain yang menjadi kunci adalah determinasi presiden. Setelah mendapat
kepastian kemenangan pilpres, sungguh melegakan Presiden Jokowi menegaskan
tidak mempunyai beban apapun untuk melakukan hal yang terbaik bagi bangsa.
Namun menegakkan politik kesehatan dan menaikkan standar baru kesehatan secara
tegas tidaklah mudah, karena berbagai kepentingan besar ada di dalamnya. Presiden
Jokowi diharapkan tidak goyah (walk the talk) membangun masa depan, dengan
menyelamatkan dua bonus demografi.***
Dimuat di media Jawa Pos, 17 September 2019, https://m.jpnn.com/news/revolusi-kesehatan-melalui-strategi-kebudayaan
Comments