SDGs dan Transformasi Bisnis

 Pembangunan yang semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi telah mengorbankan lingkungan hidup dan membuat kesenjangan ekonomi begitu mengkhawatirkan. Pembangunan model ini makin ditinggalkan. Di dunia, Sustainable Development Goals (SDGs) kini telah disepakati menjadi paradigma dan panduan pembangunan.

SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) adalah kesepakatan ambisius global yang mengintegrasikan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan sekaligus. SDGs memiliki 17 tujuan multidimensi dengan target indikator terukur.

Parameter ini menjadi panduan sekaligus verifikasi, apa yang telah dilakukan dan sampai sejauh mana, dari waktu ke waktu, untuk mencapai target tahun 2030.

Dalam dokumen SDGs, peran sektor bisnis diakui sangat vital dan disebutkan "Aktivitas dua bisnis, investasi dan inovasi adalah penggerak utama produktivitas, pertumbuhan ekonomi inklusif dan penciptaan lapangan kerja. Kami memanggil semua sektor bisnis menggunakan segnap daya upaya kreatifitas dan inovasi untuk mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan."

Di sisi lain, bisnis juga tidak mungkin sukses di lingkungan dan masyarakat gagal. Sektor bisnis sangat berkepentingan SDGs tercapai. Masyarakat sejahtera dan stabil, ekonomi tumbuh dan inklusif, lingkungan terjaga, good governance diimplementasikan dan korupsi terkikis, bukanlah ini tempat subur agar bisnis bertumbuh berkelanjutan? Inilah juga cita-cita SDGs.

Lebih dari itu, SDGs juga menciptakan peluang bisnis besar. United Nations Global Compact menghitung, potensi bisnis beberapa sektor SDGs (Food, Cities, Health and Well Being, Energy and Materials) mencapai US$12 triliun. Studi lebih spesifik Alphabeta di sektor pangan dan pertanian, potensi bisnisnya diperkirakan lebih dari US$2,3 triliun per tahun dengan investasi yang ditaksir mencapai US$380 miliar. Sekitar 80 juta kesempatan kerja akan tercipta dan hampir 70% peluang terdapat di negara berkembang, terutama Asia.

Roadmap OJK

Indonesia cukup maju dalam mengarahkan bisnis agar sejalan dengan SDGs. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan memiliki roadmap dan regulasi keuangan berkelanjutan, yang berisi tahapan agar bisnis tertanggung keuangan.

Regulasi tersebut tertuang dalam POJK No 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik. Secara tegas POJK tersebut menjelaskan "Sistem keuangan harus menerapkan prinsip berkelanjutan yang mampu menciptakan nilai ekonomi, sosial, dan ekologis di dalam model, proses, dan praktik pada tingkatan pengelolaan anggaran maupun keputusan bisnis, menuju stabilitas sistem keuangan dan sukses bisnis dalam jangka panjang, dengan tetap berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan."

Dalam POJK tersebut mewajibkan lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik menyampaikan laporan keberlanjutan (sustainability report). Pada Januari 2019, bank besar dan bank asing (Buku 3 dan 4) wajib melaporkan sustainability report. Tahun selanjutnya, wajib bagi bank lebih kecil dan lembaga keuangan lain, emiten dan perusahaan publik. Laporan keberlanjutan meliputi strategi keberlanjutan dan kinerja tiga tahun terakhir pada aspek ekonomi, lingkungan hidup dan sosial.

Sektor bisnis sebenarnya telah mendukung pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan, salah satunya melalui program corporate sosial responsibility (CSR). Diperkirakan, nilai program CSR dalam satu tahun lebih dari Rp12,5 triliun atau per bulan mencapai sedikitnya Rp1 triliun.

Lebih dari itu, beberapa perusahaan bahkan telah mengintegrasikan sustainable behaviour dalam aktivitas intinya. Astra Grup misalnya, telah menurunkan emisi 125.000 ton karbondioksida dan mengefisiensikan energi setara Rp408 miliar (sekitar 1.549 terajoule).

Lalu, beberapa perusahaan makanan menambahkan zat gizi mikro (fortifikasi), untuk mengatasi 'kelaparan mikronutrien' yang berisiko kardiovaskuler seperti jantung dan stroke, cacat bayi, gangguan mental, IQ kurang maupun kekebalan tubuh.

Dalam suatu pertemuan dengan Menteri Perindustrian telah disepakati bahwa fortifikasi perlu diwajibkan pada perusahaan makanan. Biaya fortifikasi sangatlah minim tetapi dampaknya bagi masyarakat (terutama yang miskin) sangatlah signifikan. Bila masyarakat lebih sehat dan produktif, pada akhirnya juga meningkatkan kesejahteraan dan daya beli. Tentu saja, ini akan menguntungkan usaha.

Kedua contoh di atas adalah perwujudan dari creating shared value (CSV). CSR dalam era SDGs perlu ditransformasikan pula menuju CSV. Secara filosofis keduanya memiliki landasan mirip, yaitu doing well by doing good.

Perbedaannya, CSR masih berkuat tanggung jawab sebagai respon dari tekanan luar. Sebaliknya, CSV sudah menginternalisasikan bahwa penciptaan nilai bersama adalah bagian terintegrasi dengan praktekat keuntungan usaha.

Salah satu pionir pelaksanaan CSV adalah Nestle, lalu konsep tersebut digenangkan Michael E. Porter dan kini menjadi arah bisnis dunia dalam era SDGs. Bisnis harus memberi keuntungan pada pemegang saham, masyarakat dan lingkungan sekaligus. Bila semua pemangku kepentingan mendapat manfaat, bisnis dengan sendirinya akan terus maju dan berkelanjutan.

Dimuat di Bisnis Indonesia 12 April 2018

Comments

Popular posts from this blog

Why Modern Economics Fails Humanity: Insights from Muhammad Yunus

Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (2)

Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (1)