Mewaspadai Bencana Demografi

Menyimak data kualitas hidup rakyat Indonesia beberapa tahun terakhir rasanya seperti melihat film horror, sangat mencekam. Penduduk yang kurang makan, ternyata kini jumlahnya lebih banyak dibandingkan hampir 25 tahun lalu. Situasi menyayat hati ini, paradoks ditengah klaim pemerintah yang membanggakan capaian prestasi pembangunan.

Proporsi penduduk dengan asupan kalori dibawah 1.400 kkal/kapita/hari atau kurang makan adalah 17 persen pada tahun 1990. Dalam tujuan pembangunan milenium (MDGs), proporsi itu ditargetkan turun menjadi 8,5 persen. Ironisnya, proporsi penduduk sangat rawan makan tahun 2013 justru meningkat menjadi 19 persen atau mendekati 50 juta orang. Dalam literatur kesehatan, bila dalam dua bulan berturut-turut ini berlangsung maka terjadi rawan pangan akut yang menyebabkan kelaparan.

Bila mistar ukur asupan kalori dinaikkan menjadi 2.000 kkal/kapita/hari atau disetarakan memenuhi kecukupan gizi  minimal manusia beraktivitas, problemnya tak jauh berbeda. Proporsi penduduk yang kurang dari asupan minimal itu tahun 1990 adalah 64 persen, tahun 2013 justru meningkat menjadi 68 persen atau 170 juta orang. Bila lebih dari dua pertiga penduduk Indonesia kurang makan bagaimana bangsa ini bisa produktif, apalagi berkompetisi dengan negara lain?

Berdasar data-data diatas tak mengherankan bila dalam peringkat Indeks Kelaparan Global (GHI), Indonesia tak mengalami perbaikan selama sepuluh tahun terakhir. Kinerja negeri ini mengatasi hal paling mendasar yaitu menanggulangi masalah kelaparan bahkan terburuk di Asia Tenggara. Jangankan dibandingkan Malaysia, Thailand, Vietnam atau Filipina, kinerja Indonesia bahkan jauh di bawah Laos dan Kamboja.

Kelamnya Periode Emas

Masa pertumbuhan anak balita atau dibawah lima tahun adalah sangat vital bagi manusia. Sekitar 80 persen perkembangan otak terjadi di usia balita. Pertumbuhan otak terjadi sangat pesat hingga usia 3 tahun dan terbentuk sempurna pada usia 5 tahun. Artinya, kecerdasan manusia sangatlah ditentukan masa-masa tersebut.

Akibat begitu pentingnya masa balita maka periode ini sering disebut periode emas. Periode ini tidak akan pernah terulang lagi, maka pemenuhan gizi yang baik adalah hal vital pada masa itu. Sebaliknya apabila balita tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, periode emas akan berubah menjadi periode kritis. Pertumbuhan fisik, mental dan kemampuan berpikir akan terhambat dan pada akhirnya akan menurunkan kualitas sumber daya manusia serta produktivitas.

Celakanya bila mencermati data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2013, jumlah balita dengan status gizi yang memburuk justru bertambah. Persentase balita dengan gizi buruk meningkat dari 5,4 persen menjadi 5,7 persen selama enam tahun terakhir. Pada periode yang sama, persentase balita dengan status gizi kurang juga meningkat dari 13 persen menjadi 14 persen. 

Balita penderita gizi buruk dapat mengalami penurunan kecerdasan (IQ) hingga 10 persen. Dampak paling buruk yang diterima adalah kematian pada umur yang sangat dini. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), masalah status gizi buruk ini mengakibatkan 80 persen kematian anak di Indonesia. 

Afrikanisasi Kematian Ibu

Sejak WHO meluncurkan Safe Motherhood Iniatiative tahun 1980-an, pemerintah Indonesia langsung merespon inisiatif tersebut melalui kebijakan pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Selama dua dekade 1980 – 2000 Indonesia merupakan salah satu negara yang sukses dalam menata program KIA dan menjadi rujukan. Prestasi itu kini hanya menjadi kenangan.

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 sungguh tragis, ternyata kematian Ibu melahirkan (AKI) justru melonjak sangat signifikan menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup. Ini berarti mengembalikan Indonesia pada kondisi tahun 1997 atau mengalami kemunduran 15 tahun. Di negara tanpa krisis dan perang, “prestasi kemunduran” kematian ibu ini bisa jadi adalah terburuk di dunia dan merupakan ‘scandal of our time’ bagi Indonesia.

Sungguh mengenaskan, AKI yang sangat tinggi itu artinya Indonesia bahkan jauh lebih buruk dari negara-negara paling miskin di Asia, seperti Timor Leste, Myanmar, Bangladesh dan Kamboja. Kini dalam hal AKI, Indonesia sudah tak bisa lagi disejajarkan dengan Asia namun lebih cocok dikategorikan sejajar dengan negara-negara di Afrika. Artinya meskipun berkategori negara pendapatan menengah, namun dalam hal kematian ibu maka negeri ini sangat terbelakang seperti  negara-negara miskin di Afrika. 

Pembangunan Manusia Stagnan

Beberapa indikator lain yang sangat mencemaskan adalah tren kematian akibat penyakit terkait HIV/AIDS meningkat sebanyak 427 persen antara tahun 2005 dan 2013. Kondisi ini bahkan lebih buruk dari Pakistan (meningkat 352 persen), negara yang kerap disebut negara gagal (UNAIDS, 2013). Lalu, infeksi saluran pernapasan (ISPA) prevalensinya juga meningkat dari 24.0 tahun 2007 menjadi 25.0 tahun 2013. 

Prevalensi radang paru-paru juga bertambah dari 2.1 menjadi 2.7 dalam periode yang sama. Berbagai penyakit tidak menular seperti hepatitis, diabetes mellitus, hipertensi dan stroke prevalensinya juga memburuk. Tercermin dari kualitas hidup manusia yang buruk, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) pun mandek pada posisi 108 dari 187 negara dalam dua tahun terakhir (UNDP, 2014). Yang lebih memalukan, peringkat ini bahkan di bawah peringkat negara-negara konflik seperti Palestina, Aljazair, dan lainnya. 

Dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan IPM Indonesia telah melambat. Badan Pembangunan PBB (UNDP) mencatat dalam Laporan Pembangunan Manusia 2014, pertumbuhan IPM Indonesia adalah 1,44 persen selama dekade 1990-2000. Akan tetapi antara tahun 2000-2013 telah terpangkas menjadi 0,9 persen, sungguh menyedihkan.  

Bonus atau Bencana Demografi?

Pemerintah sering menyebut-nyebut Indonesia akan mendapat bonus di tahun 2020-2030. Bonus tersebut adalah Bonus Demografi, dimana penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Artinya, rasio tingkat ketergantungan antara usia produktif dan non produktif sangat kecil. Bonus demografi mungkin hanya terjadi sekali dalam sejarah peradaban bangsa ini.

Akan tetapi, apa yang terjadi apabila generasi yang kita harapkan ternyata kurang makan, gizi dan sakit-sakitan? Bila hal ini terus terjadi, bonus demografi justru bisa berbalik menjadi bencana demografi jika sumber daya manusia yang menjadi motor pembangunan malahan menjadi beban. Jadi bukannya berkah yang terjadi, namun bencana yang datang.

Dalam masa normal, tanpa krisis dan konflik selama satu dekade ini, justru rakyat Indonesia makin banyak yang kurang makan, gizi dan dan penyakitan, jelas bukan prestasi yang membanggakan. Ini jelas adalah tragedi pembangunan manusia. Bila saya menjadi pemimpin negeri ini, saya akan menyesal dan akan meminta maaf kepada bangsa Indonesia. Pemerintah selama ini terlalu silau dengan fatamorgana pertumbuhan ekonomi yang dianggap sebagai penyembuh segala penyakit pembangunan. 

Untuk pemerintahan mendatang paradigma pembangunan mesti berubah, pembangunan ekonomi dan sosial adalah dua tujuan yang sama pentingnya. Investasi sosial untuk pembangunan manusia adalah tujuan dan sekaligus jalan untuk mencapai kemajuan yang dicita-citakan bangsa. Oleh karena itu indikator pembangunan manusia perlu dijadikan rujukan utama keberhasilan pembangunan, disamping indikator kemajuan ekonomi. 

Merubah paradigma pembangunan bukanlah sesuatu yang gampang terjadi seperti yang dikatakan Keynes “kesulitannya bukan pada pemikiran baru, namun terletak pada bagaimana meninggalkan pemikiran lama karena telah merasuk dalam setiap sudut otak”, akan tetapi bangsa ini kini tak punya pilihan. Bila Indonesia tetap meneruskan paradigma lama maka dalam sepuluh tahun lagi negeri ini akan terancam mengalami bencana demografi, bukan bonus demografi. Bila ini terjadi maka masa depan Indonesia akan suram, cita-cita menjadi negara sejahtera dan maju mesti dikubur.

Dimuat di Media Indonesia 11 September 2014

Comments

Popular posts from this blog

Why Modern Economics Fails Humanity: Insights from Muhammad Yunus

Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (2)

Menjadikan Makan Bergizi Gratis Sebagai Marshall Plan Indonesia (1)