Merebut ”Golden Age” 2020
Indonesia berpotensi menjadi negara terkuat ke-5 atau ke-6 pada tahun 2020 di dunia, hal ini diprediksikan oleh Dinas Intelijen AS (NIC). Perhitungan itu didasarkan besaran kekuatan ekonomi yang dihitung berdasar Produk Domestik Bruto (PDB). Diperkirakan dengan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen per tahun, besaran PDB Indonesia akan melampui negara-negara di Eropa.
Sayidiman Suryohadiprojo (Sinar Harapan, 3 Januari) mengkritik hal itu dengan mengemukakan dominannya produksi pihak asing di Indonesia. Ini dilihat dari selisih Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap Produk Nasional Bruto (PNB) begitu besar, mencapai lebih dari Rp 85 triliun pada tahun 2005. Melihat tren yang terjadi, bila dominasi pihak asing begitu besar, Sayidiman menyebut hal itu tak berbeda dengan penjajahan Belanda dulu. Prediksi NIC itu sebenarnya tentang Indonesia yang berada dalam neo-kolonialisme, katanya.
Dominannya asing dalam perekonomian suatu bangsa sering menjadi kontroversi. Peristiwa Malari 1974 juga dipicu ketidakpuasan akibat begitu dominannya modal asing dari Jepang dalam perekonomian Indonesia, di samping dimanfaatkan elite politik yang bertikai. Modal asing tak selamanya menguntungkan. Data neraca pembayaran bisa menunjukkan bahwa nilai kumulatif arus masuk investasi asing telah diiringi dengan nilai kumulatif keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri (Sritua Arief, 1993). Dari studi kasus Indonesia juga menunjukkan transfer teknologi hasilnya tidak terlalu menggembirakan. (Chia, 2006).
Kegelisahan Sayidiman tentang dominasi asing yang terlalu besar memang patut dipahami. Tentu saja hal ini tidak perlu dibaca sebagai anti terhadap investasi asing. Ungkapan tersebut menyiratkan kegelisahan, bagaimana agar bangsa kita sendiri mampu mengelola sumber daya yang ada sehingga bermanfaat dan berdampak ganda (multiplier effect) pada masyarakat luas. Artinya, keuntungan dari nilai tambah tetap berputar di ekonomi domestik dan tidak ditransfer ke luar negeri.
Pemerintah Membiarkan Hambatan Terjadi
Sayangnya diskusi tentang investasi hampir selalu diartikan dengan investasi asing. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berkunjung ke berbagai negara bertujuan untuk menarik investasi asing, bahkan berjanji menyediakan “karpet merah”. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan investasi lokal (domestik) sendiri? Jangan lupa, investor lokal inilah yang telah menghidupi masyarakat banyak. Memang nilainya tidak sangat besar, namun jumlahnya sangat banyak.
Dari hasil Survei Ekonomi tahun 2006 BPS yang diumumkan bulan ini, selama 10 tahun terakhir jumlah perusahaan/usaha telah meningkat 38,6 persen. Total jumlah usaha adalah 22,73 juta (non pertanian). Lalu, ditinjau dari skala usaha, maka 99,3 persen berupa usaha mikro dan kecil. Artinya, jumlah usaha menengah dan besar tidak mencapai satu persen. Tentunya, usaha mikro dan kecil bukanlah berasal dari investasi asing. Sebagian dari usaha menengah dan besar juga bukan berasal dari investasi asing. Namun, mereka menghidupi hampir seluruh rakyat Indonesia.
Lalu, perlakuan apa yang diberikan oleh pemerintah terhadap mereka? Dari Government Assessment Survey 2006 yang dilakukan Universitas Gadjah Mada menunjukkan, pemerintah tidak cukup mendukung bahkan cenderung menghambat. Ketidakpastian hukum atas tanah, birokrasi, korupsi dan rendahnya kepastian regulasi justru telah mengakibatkan kegagalan usaha.
Sementara itu, sektor perbankan sebagai lembaga intermediasi begitu seret menyalurkan kredit. Perbankan lebih suka menyimpan dana masyarakat ke SBI, tanpa resiko dan kerja keras sudah mendapat keuntungan. Pemerintah mengacuhkan hambatan ekonomi yang terus terjadi dan hanya berandai-andai investasi asing akan datang. Ibarat ingin menangkap balam di angkasa, punai di tangan dilepaskan, akhirnya justru tidak dapat dua-duanya. Justru mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi yang ada, itulah esensi dari pembangunan.
Korea Selatan pada awal pembangunannya sangat mengandalkan kekuatan dari dalam negeri. Bila ekonomi domestik berkembang maka investor asing akan datang dengan sendirinya, tanpa perlu diundang dan “karpet merah”. Jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia dengan kemampuan daya beli penduduk yang tinggi, pasti sangat menggiurkan.
Manfaatkan “Golden Age” Indonesia
Kembali bila melihat proyeksi dunia tahun 2020, kita akan menjumpai negara-negara maju di Eropa mengalami aging population (proporsi penduduk usia tua yang besar). Dan menurut Biro Statistik Amerika, itu juga akan pada Jepang, Rusia, Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, Singapura, Hongkong, Taiwán, Korea dan Cina. Karakteristik aging population Cina agak unik, disamping grafik penduduknya akan naik melengkung akibat kebijakan satu keluarga satu anak, ia juga disertai ketidakseimbangan gender (akibat mayoritas lebih memilih anak laki-laki).
Sebaliknya, Indonesia justru akan mengalami golden age (masa emas), sebab komposisi penduduk dengan usia produktif akan paling tinggi. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa sampai 20 tahun ke depan penduduk usia produktif (15-64 tahun) meningkat signifikan. Sebaliknya penduduk usia muda (0-14 tahun), khususnya anak balita (0-4 tahun), akan mengalami penurunan secara berarti. Golden age akan dialami Indonesia kembali mungkin ratusan tahun kembali, maka ini perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya.
Proporsi tertinggi penduduk pada kelompok usia produktif merupakan peluang emas bagi Indonesia untuk memacu produktivitas dan daya saing. Apalagi, pada saat itu negara-negara (maju) justru mengalami aging population yang berarti penduduk usia produktif justru sedikit. Inilah peluang dan kesempatan emas bagi Indonesia untuk tampil di dunia, menjadi negara yang maju dan bermartabat.
Kuncinya kini, bagaimana mempersiapkan diri agar penduduk usia produktif yang akan berkiprah 15 sampai 20 tahun ke depan. Agar mereka memiliki pendidikan dan keahlian yang memadai, sehat dan sigap beradaptasi menghadapi gelombang perubahan yang kian cepat dengan kemampuan teknologi. Tentunya, sektor pendidikan dan kesehatan perlu menjadi prioritas untuk menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang unggul.
Tak perlu silau dengan apa yang belum kita miliki. Kita mesti bangga dan menghargai diri kita sendiri. Dari apa yang kita miliki, itulah yang seharusnya kita kembangkan. Baik itu sektor ekonomi kita sendiri, maupun berbagai sumber daya yang ada pada kita. Dan tentunya, masa depan haruslah direbut dengan melipatgandakan kerja keras kita. Ia mesti diayun dalam kebersamaan dengan menyelesaikan persoalan masa kini dan diarahkan untuk merebut peluang dan harapan masa depan.
Dimuat di Sinar Harapan 27 Februari 2007
Comments