Menimbang Pilar Ketiga Dunia
MENGAWALI abad ke-21, dunia gelisah. Robohnya World Trade Center (WTC) dengan cara yang menggidikkan bulu roma, disusul ingar-bingar perburuan teroris di berbagai sudut jagat, membuat resah. Dalam seketika, sengat kedengkian dan kebencian berkobar. Ia ada di sana-sini. Generalisasi prejudice dan stereotype menyala.
Tiba-tiba saja, siapa sebenarnya yang diancam dan siapa yang mengancam menjadi kabur. Namun, yang jelas bom di Bali membuat sadar bahwa kita sama-sama terancam. Tak ada tempat yang dijamin aman di jagat ini.
Semenjak 50 tahun terakhir, dunia telah berubah secara radikal. Koordinat tradisional pemetaan politik dunia berubah jauh. Keangkeran tirai besi raksasa lumer. Bagai air bah, glasnost dan perestroika justru menenggelamkan Uni Soviet. Tembok Berlin ikut roboh.
Derasnya arus pasar telah menyingkap tirai bambu Cina pula. Pesatnya kemajuan teknologi informasi, ikut meramaikan nyaringnya perubahan. Lalu, benarkah kemenangan kapitalisme liberal merupakan akhir dari sejarah, seperti dikatakan Francis Fukuyama?
Sejarah ternyata belum berakhir, ia memang bukan tarik-menarik antara sosialisme dan kapitalisme lagi, tetapi jauh lebih kompleks. Namun, runyamnya, kita juga tak tahu menuju ke mana. Metafora Giddens jitu benar, dunia bagai Juggernaut (sebuah truk besar) yang terhuyung lepas kendali. Dan celakanya, kita semua menjadi penumpangnya yang hanya bisa berharap dan cemas.
Dunia kini menjadi sangat menakutkan. Ancaman perang, terorisme, perusakan alam yang hebat, kesenjangan, kemiskinan, dan kekerasan antaretnis atau agama semuanya terus membayangi jagat ini, tempat kita berada. Orang merasa yakin dengan pilihannya sendiri. Individualisme pribadi maupun kelompok sebegitu tajamnya sehingga meretas rantai solidaritas. Kebengisan yang mengatasnamakan "kesucian" identitas (entah negara, etnis, agama, dan lain-lain), terkadang di luar batas akal sehat. Umat manusia kini dalam ancaman besar!
Celakanya, dalam centang perenang jagat ini, kita hanya bisa menyandarkan diri pada dua pilar dunia. Pilar yang pertama adalah The Charter of United Nations, yang berfokus pada perdamaian dan pembangunan bangsa-bangsa. Namun, seperti jamak diketahui bahwa United Nations (PBB) merupakan officially represented dari negara-negara yang didominasi beberapa negara tertentu akibat hak vetonya. Acap kali keputusan PBB tidak mencerminkan rasa keadilan mayoritas masyarakat dunia.
Pilar yang kedua adalah The Universal Declaration of Human Rights yang menekankan hak-hak dan kebebasan individu. Charter ini mencoba memuliakan martabat individu manusia. Meski bertujuan luhur, namun karena lebih memusatkan pada hak individu, maka terkadang "bertabrakan" dengan hak komunitas atau masyarakat. Bahkan, tubrukan kepentingan antarmanusia sendiri yang sama-sama memiliki hak, merupakan realitas keseharian.
Persimpangan jalan sejarah
Belum pernah terjadi sebelumnya, manusia mempunyai pengaruh yang sedemikian menyentuh kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya dari seorang terhadap yang lain. Belum pernah terjadi sebelumnya, manusia memiliki pengetahuan dan kekuatan yang sedemikian hebat mengubah lingkungannya. Bahkan, dengan berbagai kemungkinan meningkatnya potensi baru manusia, krisis-krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya akan muncul.
Sementara institusi-institusi yang seharusnya mampu menanggapi berbagai tantangan baru, menjadi lumpuh. Kekuatan pasar internasional menyebar dan telah merusak peran tradisional pemerintah. Lembaga-lembaga ilmiah makin mengejar kepentingan sendiri, tak peduli bertabrakan dengan etika dan kemanusiaan.
Lembaga-lembaga internasional gagal membalikkan pasang surut ketidaksetaraan yang muncul. Bisnis telah cenderung mengejar tujuan-tujuan yang menguntungkan di atas biaya sosial dan lingkungan. Lembaga-lembaga keagamaan tak berdaya menyampaikan tantangan-tantangan baru yang dihadapi, sembari mereposisikan dirinya.
Pemusatan kekuatan, entah dalam bidang apa pun pada tangan-tangan yang semakin sedikit, memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran tentang masa depan Bumi. Entah itu dimiliki perseorangan, kelompok, maupun negara tertentu. Tak bisa ditolak, kini kita berada dalam persimpangan jalan sejarah umat manusia.
Piagam tanggung jawab manusia
Hidup adalah misteri yang merangkai semua yang ada. Kehidupan tidak diciptakan manusia. Manusia berpartisipasi dalam kehidupan. Di tengah keanekaragaman manusia, manusia mempunyai tanggung jawab melindungi hak untuk hidup. Krisis yang hebat melanda jagat telah memperlihatkan bahwa apa yang dipertaruhkan adalah hadiah terbesar dan tak terganti, yaitu hidup dan kehidupan.
Krisis di jagat ini merupakan krisis bersama. Dalam era kesejagatan yang makin interdependen, begitu terasa bahwa satu kejadian akan berkorespondensi (berhubungan) dengan akibat yang lain secara berganda. Sebuah peristiwa yang letaknya puluhan ribu kilometer, seakan hanya tetangga sebelah. Tragedi WTC yang dilakukan beberapa orang, dalam hitungan hari telah merumahkan ribuan pekerja di seluruh dunia. Krisis moneter Thailand, yang menurut Mahathir disebabkan beberapa gelintir spekulan, tiba-tiba menular dan mengakibatkan jutaan manusia di Asia menderita.
Merefleksikan begitu berperannya manusia (superman) terhadap jagat, hal ini membuat kita sadar bahwa perjalanan dunia begitu pincang. The Universal Declaration of Human Rights yang menekankan hak manusia, tentunya memerlukan sandingan lainnya yang menekankan pada tanggung jawab manusia.
Setiap manusia seharusnya sadar bahwa tiap tindakan dalam jagat yang saling berkoneksi akan mengakibatkan konsekuensi diinginkan (intended consequences) maupun tak diinginkan (unintended consequences). Baik pada manusia lain, beserta segenap lingkungannya.
Bumi adalah satu dan satu-satunya milik kita, tempat tinggal kita yang tidak bisa digantikan. Manusia, dengan segala perbedaannya, adalah milik dunia yang hidup dan merupakan bagian dari evolusi.
Nasib manusia kini saling terikat. Semakin besar peran manusia dalam dunia, tentunya semakin besar pula tanggung jawab yang dimilikinya. Diperlukan pegangan baru bagi jagat yang telah berubah secara radikal ini.
Antara lain akibat kesadaran di atas, sebanyak 400 orang dari 125 negara hadir dalam World Citizens Assembly yang diselenggarakan tanggal 2–10 Desember 2001 di Lille, Perancis. Dalam pertemuan itu kemudian dirumuskan komitmen bersama berupa Piagam Manusia Bertanggung Jawab (Charter on Human Responsibilities). Piagam ini diharapkan menjadi pilar ketiga melengkapi dua pilar yang sudah ada yaitu The Universal Declaration of Human Right dan The Charter of United Nations.
Pilar ketiga
Gagasan tentang "pilar ketiga" (suatu Earth Charter), yang berpusat pada hubungan antarmanusia dan biosphere, pertama kali dimunculkan pada Konferensi Dunia di Stockholm tahun 1972. Piagam ini dikembangkan lagi dalam Earth Summit tahun 1992 di Rio de Janeiro, namun pertemuan tersebut akhirnya tidak menghasilkan Earth Charter. Pemerintah-pemerintah tak dapat mencapai konsensus tentang rumusan yang benar-benar menjawab berbagai tantangan.
Sejak itu, muncul banyak draf dari berbagai sumber dalam masyarakat warga (internasional). Hal ini dipacu keyakinan dan dirasakan meluas bahwa pilar ketiga saat ini dibutuhkan dan mendesak dibanding sebelumnya. Karena banyak inisiatif yang ditunjukkan untuk hal itu, kemudian dibuat draf kolektif untuk satu piagam.
Proses membuat kerangka piagam dilakukan berulang- ulang, mendasarkan dua sisi kepentingan, kesatuan dan keragaman, menjadi landasan umum bagi program aksi yang menghargai perbedaan budaya, bahasa, ekonomi, politik, dan geografis. Pada periode tahun 1995-1998, berbagai lokakarya diselenggarakan di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Eropa oleh Andre’ Levesque dan timnya. Mereka bertujuan merangkum nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang disaring dari kenyataan hidup sehari-hari yang dialami di masyarakat yang berbeda. Hasilnya adalah rumusan pertama dari Charter (1999).
Dari tahun 1999 sampai akhir 2000, draft Charter/Piagam diuji coba secara luas di berbagai profesi dan kegiatan masyarakat dengan sistem budaya yang berbeda-beda. Sementara itu, kelompok kerja lalu merumuskan tuntutan-tuntutan yang berhubungan berbagai tantangan abad ke-21 dalam kegiatan mereka. Reaksi terhadap draf Charter/Piagam 1999 dan rumusan tuntutan-tuntutan ini membawa pada keputusan (2001) untuk membuat draf akhir untuk sebuah piagam yang memasukkan keduanya. Kemudian disebut Piagam Manusia Bertanggung Jawab (Charter on Human Responsibilities), yang disepakati dalam World Citizens Assembly.
Sebagai konsep yang berkenaan dengan moral, pemikiran tentang tanggung jawab ditemukan di antara semua kelompok manusia. Semua orang berhak atas hak-hak manusia yang sama, tetapi tanggung jawab mereka sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan mereka. Semakin banyak kebebasan, akses terhadap informasi, pengetahuan, kekayaan dan kekuatan yang dimiliki seseorang, semakin besar pula tanggung jawabnya.
Tanggung jawab melekat tidak hanya untuk tindakan-tindakan saat ini dan yang akan datang, tetapi juga tindakan-tindakan masa lampau. Karena kita tidak mampu mengetahui konsekuensi penuh dari tindakan kita saat ini dan pada waktu yang akan datang, tanggung jawab kita berarti juga kerendahan hati, kebijaksanaan, dan tindakan pencegahan.
Piagam itu dimaksudkan untuk menyediakan landasan bagi pakta sosial baru yang menciptakan aturan-aturan baru untuk masing-masing kelompok sosial dan masing-masing kelompok profesi dalam hubungannya dengan masyarakat. Lalu, dimaksudkan untuk menjadi suatu kerangka
yang pribadi, politis, institusional, dan sah. Prinsip-prinsip/pedoman yang ditawarkan sebagai landasan yang memungkinkan, suatu isi, yang harus "dipindahkan" ke bidang-bidang profesi masyarakat yang berbeda-beda dan ke dalam bahasa yang berbeda-beda dengan bentuk-bentuk yang cocok secara budaya.
Krisis umat manusia saat ini berarti bahwa perbedaan-perbedaan ini harus diatasi. Dengan sikap bangsa-bangsa di dunia menerima gagasan tentang "hak-hak manusia", pandangan tentang "tanggung jawab manusia" tiba saatnya diterima. Kerja sama dan aturan global memang diperlukan untuk kemungkinan me-universalkan gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip dari mana pun datangnya yang dipandang bermanfaat bagi umat manusia.
Tulisan ini telah dimuat di Kompas, menulis bersama "bos"
Tiba-tiba saja, siapa sebenarnya yang diancam dan siapa yang mengancam menjadi kabur. Namun, yang jelas bom di Bali membuat sadar bahwa kita sama-sama terancam. Tak ada tempat yang dijamin aman di jagat ini.
Semenjak 50 tahun terakhir, dunia telah berubah secara radikal. Koordinat tradisional pemetaan politik dunia berubah jauh. Keangkeran tirai besi raksasa lumer. Bagai air bah, glasnost dan perestroika justru menenggelamkan Uni Soviet. Tembok Berlin ikut roboh.
Derasnya arus pasar telah menyingkap tirai bambu Cina pula. Pesatnya kemajuan teknologi informasi, ikut meramaikan nyaringnya perubahan. Lalu, benarkah kemenangan kapitalisme liberal merupakan akhir dari sejarah, seperti dikatakan Francis Fukuyama?
Sejarah ternyata belum berakhir, ia memang bukan tarik-menarik antara sosialisme dan kapitalisme lagi, tetapi jauh lebih kompleks. Namun, runyamnya, kita juga tak tahu menuju ke mana. Metafora Giddens jitu benar, dunia bagai Juggernaut (sebuah truk besar) yang terhuyung lepas kendali. Dan celakanya, kita semua menjadi penumpangnya yang hanya bisa berharap dan cemas.
Dunia kini menjadi sangat menakutkan. Ancaman perang, terorisme, perusakan alam yang hebat, kesenjangan, kemiskinan, dan kekerasan antaretnis atau agama semuanya terus membayangi jagat ini, tempat kita berada. Orang merasa yakin dengan pilihannya sendiri. Individualisme pribadi maupun kelompok sebegitu tajamnya sehingga meretas rantai solidaritas. Kebengisan yang mengatasnamakan "kesucian" identitas (entah negara, etnis, agama, dan lain-lain), terkadang di luar batas akal sehat. Umat manusia kini dalam ancaman besar!
Celakanya, dalam centang perenang jagat ini, kita hanya bisa menyandarkan diri pada dua pilar dunia. Pilar yang pertama adalah The Charter of United Nations, yang berfokus pada perdamaian dan pembangunan bangsa-bangsa. Namun, seperti jamak diketahui bahwa United Nations (PBB) merupakan officially represented dari negara-negara yang didominasi beberapa negara tertentu akibat hak vetonya. Acap kali keputusan PBB tidak mencerminkan rasa keadilan mayoritas masyarakat dunia.
Pilar yang kedua adalah The Universal Declaration of Human Rights yang menekankan hak-hak dan kebebasan individu. Charter ini mencoba memuliakan martabat individu manusia. Meski bertujuan luhur, namun karena lebih memusatkan pada hak individu, maka terkadang "bertabrakan" dengan hak komunitas atau masyarakat. Bahkan, tubrukan kepentingan antarmanusia sendiri yang sama-sama memiliki hak, merupakan realitas keseharian.
Persimpangan jalan sejarah
Belum pernah terjadi sebelumnya, manusia mempunyai pengaruh yang sedemikian menyentuh kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya dari seorang terhadap yang lain. Belum pernah terjadi sebelumnya, manusia memiliki pengetahuan dan kekuatan yang sedemikian hebat mengubah lingkungannya. Bahkan, dengan berbagai kemungkinan meningkatnya potensi baru manusia, krisis-krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya akan muncul.
Sementara institusi-institusi yang seharusnya mampu menanggapi berbagai tantangan baru, menjadi lumpuh. Kekuatan pasar internasional menyebar dan telah merusak peran tradisional pemerintah. Lembaga-lembaga ilmiah makin mengejar kepentingan sendiri, tak peduli bertabrakan dengan etika dan kemanusiaan.
Lembaga-lembaga internasional gagal membalikkan pasang surut ketidaksetaraan yang muncul. Bisnis telah cenderung mengejar tujuan-tujuan yang menguntungkan di atas biaya sosial dan lingkungan. Lembaga-lembaga keagamaan tak berdaya menyampaikan tantangan-tantangan baru yang dihadapi, sembari mereposisikan dirinya.
Pemusatan kekuatan, entah dalam bidang apa pun pada tangan-tangan yang semakin sedikit, memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran tentang masa depan Bumi. Entah itu dimiliki perseorangan, kelompok, maupun negara tertentu. Tak bisa ditolak, kini kita berada dalam persimpangan jalan sejarah umat manusia.
Piagam tanggung jawab manusia
Hidup adalah misteri yang merangkai semua yang ada. Kehidupan tidak diciptakan manusia. Manusia berpartisipasi dalam kehidupan. Di tengah keanekaragaman manusia, manusia mempunyai tanggung jawab melindungi hak untuk hidup. Krisis yang hebat melanda jagat telah memperlihatkan bahwa apa yang dipertaruhkan adalah hadiah terbesar dan tak terganti, yaitu hidup dan kehidupan.
Krisis di jagat ini merupakan krisis bersama. Dalam era kesejagatan yang makin interdependen, begitu terasa bahwa satu kejadian akan berkorespondensi (berhubungan) dengan akibat yang lain secara berganda. Sebuah peristiwa yang letaknya puluhan ribu kilometer, seakan hanya tetangga sebelah. Tragedi WTC yang dilakukan beberapa orang, dalam hitungan hari telah merumahkan ribuan pekerja di seluruh dunia. Krisis moneter Thailand, yang menurut Mahathir disebabkan beberapa gelintir spekulan, tiba-tiba menular dan mengakibatkan jutaan manusia di Asia menderita.
Merefleksikan begitu berperannya manusia (superman) terhadap jagat, hal ini membuat kita sadar bahwa perjalanan dunia begitu pincang. The Universal Declaration of Human Rights yang menekankan hak manusia, tentunya memerlukan sandingan lainnya yang menekankan pada tanggung jawab manusia.
Setiap manusia seharusnya sadar bahwa tiap tindakan dalam jagat yang saling berkoneksi akan mengakibatkan konsekuensi diinginkan (intended consequences) maupun tak diinginkan (unintended consequences). Baik pada manusia lain, beserta segenap lingkungannya.
Bumi adalah satu dan satu-satunya milik kita, tempat tinggal kita yang tidak bisa digantikan. Manusia, dengan segala perbedaannya, adalah milik dunia yang hidup dan merupakan bagian dari evolusi.
Nasib manusia kini saling terikat. Semakin besar peran manusia dalam dunia, tentunya semakin besar pula tanggung jawab yang dimilikinya. Diperlukan pegangan baru bagi jagat yang telah berubah secara radikal ini.
Antara lain akibat kesadaran di atas, sebanyak 400 orang dari 125 negara hadir dalam World Citizens Assembly yang diselenggarakan tanggal 2–10 Desember 2001 di Lille, Perancis. Dalam pertemuan itu kemudian dirumuskan komitmen bersama berupa Piagam Manusia Bertanggung Jawab (Charter on Human Responsibilities). Piagam ini diharapkan menjadi pilar ketiga melengkapi dua pilar yang sudah ada yaitu The Universal Declaration of Human Right dan The Charter of United Nations.
Pilar ketiga
Gagasan tentang "pilar ketiga" (suatu Earth Charter), yang berpusat pada hubungan antarmanusia dan biosphere, pertama kali dimunculkan pada Konferensi Dunia di Stockholm tahun 1972. Piagam ini dikembangkan lagi dalam Earth Summit tahun 1992 di Rio de Janeiro, namun pertemuan tersebut akhirnya tidak menghasilkan Earth Charter. Pemerintah-pemerintah tak dapat mencapai konsensus tentang rumusan yang benar-benar menjawab berbagai tantangan.
Sejak itu, muncul banyak draf dari berbagai sumber dalam masyarakat warga (internasional). Hal ini dipacu keyakinan dan dirasakan meluas bahwa pilar ketiga saat ini dibutuhkan dan mendesak dibanding sebelumnya. Karena banyak inisiatif yang ditunjukkan untuk hal itu, kemudian dibuat draf kolektif untuk satu piagam.
Proses membuat kerangka piagam dilakukan berulang- ulang, mendasarkan dua sisi kepentingan, kesatuan dan keragaman, menjadi landasan umum bagi program aksi yang menghargai perbedaan budaya, bahasa, ekonomi, politik, dan geografis. Pada periode tahun 1995-1998, berbagai lokakarya diselenggarakan di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Eropa oleh Andre’ Levesque dan timnya. Mereka bertujuan merangkum nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang disaring dari kenyataan hidup sehari-hari yang dialami di masyarakat yang berbeda. Hasilnya adalah rumusan pertama dari Charter (1999).
Dari tahun 1999 sampai akhir 2000, draft Charter/Piagam diuji coba secara luas di berbagai profesi dan kegiatan masyarakat dengan sistem budaya yang berbeda-beda. Sementara itu, kelompok kerja lalu merumuskan tuntutan-tuntutan yang berhubungan berbagai tantangan abad ke-21 dalam kegiatan mereka. Reaksi terhadap draf Charter/Piagam 1999 dan rumusan tuntutan-tuntutan ini membawa pada keputusan (2001) untuk membuat draf akhir untuk sebuah piagam yang memasukkan keduanya. Kemudian disebut Piagam Manusia Bertanggung Jawab (Charter on Human Responsibilities), yang disepakati dalam World Citizens Assembly.
Sebagai konsep yang berkenaan dengan moral, pemikiran tentang tanggung jawab ditemukan di antara semua kelompok manusia. Semua orang berhak atas hak-hak manusia yang sama, tetapi tanggung jawab mereka sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan mereka. Semakin banyak kebebasan, akses terhadap informasi, pengetahuan, kekayaan dan kekuatan yang dimiliki seseorang, semakin besar pula tanggung jawabnya.
Tanggung jawab melekat tidak hanya untuk tindakan-tindakan saat ini dan yang akan datang, tetapi juga tindakan-tindakan masa lampau. Karena kita tidak mampu mengetahui konsekuensi penuh dari tindakan kita saat ini dan pada waktu yang akan datang, tanggung jawab kita berarti juga kerendahan hati, kebijaksanaan, dan tindakan pencegahan.
Piagam itu dimaksudkan untuk menyediakan landasan bagi pakta sosial baru yang menciptakan aturan-aturan baru untuk masing-masing kelompok sosial dan masing-masing kelompok profesi dalam hubungannya dengan masyarakat. Lalu, dimaksudkan untuk menjadi suatu kerangka
yang pribadi, politis, institusional, dan sah. Prinsip-prinsip/pedoman yang ditawarkan sebagai landasan yang memungkinkan, suatu isi, yang harus "dipindahkan" ke bidang-bidang profesi masyarakat yang berbeda-beda dan ke dalam bahasa yang berbeda-beda dengan bentuk-bentuk yang cocok secara budaya.
Krisis umat manusia saat ini berarti bahwa perbedaan-perbedaan ini harus diatasi. Dengan sikap bangsa-bangsa di dunia menerima gagasan tentang "hak-hak manusia", pandangan tentang "tanggung jawab manusia" tiba saatnya diterima. Kerja sama dan aturan global memang diperlukan untuk kemungkinan me-universalkan gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip dari mana pun datangnya yang dipandang bermanfaat bagi umat manusia.
Tulisan ini telah dimuat di Kompas, menulis bersama "bos"
Comments
met kenal, met gabung dg blogfam. acc membernya sdh diaktifkan. ditunggu sapa nya di perkenalan.
salam
sketsahati dot com