Pembangunan Gelombang Ketiga India, Sebuah Alternatif
Bisakah mereka yang pendapatannya kurang dari satu dolar per hari, menikmati teknologi informasi? Tak bisa, ujar triliuner Bill Gates, bagaimana ada komputer, listrik saja tak ada. ”Honest… you’re just buying food, you’re trying to stay alive…”, ujarnya. Tetapi benarkah ucapan Gates itu? Belum tentu, setidaknya itulah jawaban India.
Hasrat menggelegak mengejar ketinggalan, telah melecut India. Diterangi kesadaran ”ideologis” tentang pentingnya teknologi informasi (IT), baik bagi masa kini maupun masa depan, mereka memacu diri. Hasilnya tak mengecewakan. Dengan pertumbuhan industri software rata-rata 50% tiap tahun, negara dengan penduduk 1,1 miliar itu, tak tertandingi oleh negara lain. Semenjak 1989-1990 hingga 2000-2001 pendapatan dari sektor IT melonjak, dari 195 juta dolar AS menjadi 8,3 miliar dolar AS. Atau, melesat 42,5 kali lipat selama 11 tahun. Bahkan, studi McKinsey memperkirakan tahun 2008, kontribusinya mencapai 85 miliar dolar AS (Kumar, 2001).
India kini memiliki 1.250 perusahaan yang mengekspor software. Dalam pasar outsourcing global yang bernilai lebih dari 100 miliar dolar, 185 perusahaan ”bergengsi” dalam Fortune 500, mendapat kebutuhan software-nya dari negara itu (Human Development Report, 2001). Akibat menikmati keunggulan sebagai first-mover industri software, dari survei Carnegie Mellon University, kedigdayaan India sulit dikejar. Kompetitornya paling ”cuma” Amerika, itupun akibat negara Paman Sam tersebut ”membajak” tenaga profesional dari India. Pesaing lain seperti Israel, Irlandia, Singapura, Filipina maupun Eropa Timur, tak memiliki jumlah signifikan, sehingga kurang diperhitungkan.
India di pentas dunia dalam industri IT, saat ini tak tertandingi. Lalu, bagaimana kontribusi teknologi informasi tersebut untuk rakyat. Atau lebih tegas lagi, sumbangan apa yang bisa diberikan teknologi itu untuk 40 persen penduduk India (440 juta manusia), yang berada di bawah garis kemiskinan. Bila benar teknologi mampu mewartakan pembebasan, tantangan ini sungguh-sungguh mendebarkan.
Toffler, sang futuris, telah lama memaparkan menderu-derunya gelombang perubahan, akibat ilmu pengetahuan dan teknologi. Gelombang Pertama adalah gelombang pembaruan, dimana manusia menemukan dan menerapkan teknologi pertanian. Gelombang Kedua merupakan masa revolusi industri, yang memaksa jutaan manusia keluar dari pertanian dan memasuki produksi massal (industrialisasi). Pada masa inilah, pembangunan berarti secara setia menyalin kembali model yang telah berhasil, seperti Eropa ataupun Amerika.
Tahun 1981 Schreiber menghitung, waktu itu pendapatan India kira-kira US$ 200 per orang, sementara Amerika Serikat, Jepang dan Eropa sebesar US$ 10.000 per orang. Misalnya India menjaga pertumbuhan tiap tahun 5%, sementara negara-negara industri maju itu tumbuh 2,5% per tahun, maka dibutuhkan waktu 150 tahun untuk menyamai pendapatan negara industri tersebut. Schreiber menyangsikan, apakah India cukup sabar menunggu satu setengah abad (Alisjahbana, 1984).
Toffler lalu mewartakan kabar gembira, yaitu kehadiran Gelombang Ketiga, tentang munculnya revolusi komunikasi dan teknologi informasi. Menurutnya, tak perlu mengorbankan lingkungan hidup, kebuda-yaan, agama, struktur keluarga dan dimensi psikologis kehidupan, seperti terjadi pada Gelombang Kedua, untuk memasuki Gelombang Ketiga. Yang miskin maupun kaya, menurutnya, membungkukkan badan di garis start sama, dalam perlombaan baru. Dari paparan spektakulernya India dalam industri IT, tampaknya hal itu terbukti. Namun pertanyaan di atas belum terjawab, bagaimana memanfaatkan IT secara meluas dan mendalam, terutama bagi yang miskin?
IT untuk Rakyat
Atas jasa besar Guttenberg dengan teknologi cetaknya, secara cepat penyebaran berbagai pengetahuan terjadi. Abad pencerahan, lalu bersinar terang di berbagai tempat. Kini akibat revolusi komunikasi dan teknologi informasi, proses perubahan jauh lebih radikal. Jarak dan waktu telah dilipat. Pemerataan informasi dan pengetahuan, bahkan dari ujung selatan ke ujung utara bumi, dalam hitungan detik telah dapat terdistribusi dan diakses.
Buku hasil cetakan bisa dinikmati semua orang, namun bisakah IT dinikmati pula oleh semua orang? Komputer masih mahal, fragile, bahasa Inggris sentris, kompleks dan sulit dipelajari, lalu apakah benda canggih itu hanya untuk elite? Apakah untuk menggunakan IT harus menunggu nutrisi menunjang kesehatan dan pendidikan, pendidikan memberantas buta huruf, listrik masuk tiap desa, jaringan telepon tersambung, serta berbagai kebutuhan yang lain terpenuhi? Agaknya tak perlu, justru itulah tantangan yang harus dipecahkan, setidaknya itu dibuktikan India.
Masyarakat desa terpencil di Madhya Pradesh, secara rutin datang ke pusat pelayanan informasi maya (virtual), asal informasi tersebut berkaitan erat dengan hidup dan kebutuhannya. Sementara itu, e-governance yang dikembangkan di Gyandoot, penduduk desa dengan membayar sekitar dua ribu rupiah dapat melakukan berbagai pengaduan kepada pemerintah. Meski hanya terdiri 30 desa, namun akibat rutinnya pengaduan jumlah per hari, sangat efektif mempengaruhi pemerintah.
Hal mengejutkan terjadi pada eksperimen yang dilakukan pada pemukim kawasan kumuh (slum) New Delhi. Dengan keterbatasan pendidikan, kemampubacaan, serta kemampuan bahasa Inggris mereka dapat dengan cepat menguasai ”antarmuka grafis, tunjuk dan klik berbasis windows” (windows-based point-and-click graphical user interfaces). Hal itu menunjukkan adaptasi masyarakat yang dipandang rendah pendidikannya pada teknologi canggih, asal ada kesempatan, tak bisa disepelekan (Sood, 2001).
Apalagi, kini Indian Institute of Science and Engineers dan Encore Software mengembangkan komputer murah dan makin ”bersahaja”. Bulan Januari 2001, komputer standar untuk internet adalah Pentium III seharga 700 dolar AS, karena terlalu mahal lalu didesain seperangkat peralatan internet seharga 200 dolar AS.
Didasarkan sistem operasi Linux, versi pertama Simputer itu menyediakan internet yang mengakses e-mail dalam bahasa daerah, dengan touch-screen function (mengklik dengan menyentuh layar monitor) dan aplikasi microbanking. Versi selanjutnya, adalah komputer yang bisa bersuara dan menggunakan software yang mampu mentransfer tulisan menjadi bicara, sehingga dapat digunakan penderita buta huruf (HDR, 2001).
Bagi desa terpencil terdapat keterbatasan infrastruktur dasar, agar internet dapat terkoneksi yaitu listrik, telepon (atau sejenisnya), serta koneksi jaringan. Namun semuanya telah dapat dipecahkan. Listrik dapat disimpan melalui baterai (accu) atau universal power supply (UPS), yang mampu menyimpan listrik berjam-jam. Hal ini mengingatkan pada kakek saya di desa dulu, kalau mau mernonton televisi harus menyetrum accu, makanya beliau punya dua accu agar bisa menonton terus.
Di Pondicherry tak tersedia jaringan telepon, hal ini bisa diatasi dengan wireless system atau dengan komunikasi satelit. Sedangkan di Dhar, mulai dikembangkan kabel serat optik. Untuk koneksitas jaringan, teknologi WLL (wireless local loop) telah mampu secara simultan dan kontinu, menghubungkan suara dan koneksi data di desa-desa. Disamping komunitas yang lain, TeNet Group berada di garis depan dalam pengembangan infrastruktur telekomunikasi pedesaan.
Manfaat IT
Distribusi informasi dan pengetahuan merupakan kunci mengejar ketertinggalan, agaknya hal ini disadari benar oleh India. Akhir tahun 2000, diadakan konferensi mengenai website dalam bahasa India, sekretaris Departemen Bahasa Resmi mendesak setiap kementerian dan departemen mengembangkan website sendiri. Sementara itu, proyek Anurasaka menjanjikan translasi bahasa Inggris ke bahasa India berbagai akses web yang berbahasa Inggris. Sedangkan Kementerian Komunikasi, meluncurkan pos elektronik dan telah memiliki 200 pusat. Adapun untuk mengirim pesan dan dokumen, cukup di-scan dan dikirim melalui jaringan elektronik.
Village Knowledge Centers Project yang dijalankan Swaminathan Research Foundation di Pondicherry memulai proyek penyediaan informasi dan pengetahuan untuk masyarakat desa. Secara rutin, offline data yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat desa di update menggunakan transmisi fax protocols. Grameen Bank of Bangladesh menginisiasikan International Centre for Information Technology for the Elimination of Global Poverty dengan mendorong self-help groups (SHGs) melalui micro-credit/micro-finance initiatives (MCIs/MFIs) online.
Seperti jamak diketahui, teknologi informasi juga memungkinkan pendidikan jarak jauh. Pengembangan IT memungkinkan penyediaan masyarakat berupa berita, informasi, panduan, dan pengetahuan yang sebelumnya tak dapat diakses oleh mereka. Hal itu setidaknya telah dilakukan NIIT pada perkampungan kumuh (slum) di New Delhi, serta penduduk desa di Karnataka. Sedangkan pendidikan jarak jauh yang bersifat komersial, disediakan oleh eGurucool dan Zee Interactive Learning Systems (Sood, 2001).
Catatan Penutup
Pendapat Gates telah dirubuhkan, IT dapat dinikmati pula oleh yang miskin, India telah membuktikannya. Bahkan dengan adanya IT, model pembangunan negara maju dengan proyek industrialisasinya (gelombang kedua) yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, polusi, tergerusnya budaya lokal, serta dampak lainnya, dapat dihindarkan.
Dengan memanfaatkan penyebaran pengetahuan melalui IT, tiap daerah dapat memecahkan masalah dan mengembangkan daerahnya berdasar modelnya sendiri.Revolusi komunikasi dan teknologi informasi, bisa menyebarkan berbagai pengetahuan baik untuk yang kaya, miskin, desa maupun kota, sehingga memungkinkan terbentuknya knowledge society, inilah model pembangunan gelombang ketiga.
India telah membangun paradigma dan pencerahan baru model pembangunan, untuk mengejar ketertinggalan. Apakah Indonesia mampu pula melakukannya?
Dimuat di Sinar Harapan tahun 2003
Hasrat menggelegak mengejar ketinggalan, telah melecut India. Diterangi kesadaran ”ideologis” tentang pentingnya teknologi informasi (IT), baik bagi masa kini maupun masa depan, mereka memacu diri. Hasilnya tak mengecewakan. Dengan pertumbuhan industri software rata-rata 50% tiap tahun, negara dengan penduduk 1,1 miliar itu, tak tertandingi oleh negara lain. Semenjak 1989-1990 hingga 2000-2001 pendapatan dari sektor IT melonjak, dari 195 juta dolar AS menjadi 8,3 miliar dolar AS. Atau, melesat 42,5 kali lipat selama 11 tahun. Bahkan, studi McKinsey memperkirakan tahun 2008, kontribusinya mencapai 85 miliar dolar AS (Kumar, 2001).
India kini memiliki 1.250 perusahaan yang mengekspor software. Dalam pasar outsourcing global yang bernilai lebih dari 100 miliar dolar, 185 perusahaan ”bergengsi” dalam Fortune 500, mendapat kebutuhan software-nya dari negara itu (Human Development Report, 2001). Akibat menikmati keunggulan sebagai first-mover industri software, dari survei Carnegie Mellon University, kedigdayaan India sulit dikejar. Kompetitornya paling ”cuma” Amerika, itupun akibat negara Paman Sam tersebut ”membajak” tenaga profesional dari India. Pesaing lain seperti Israel, Irlandia, Singapura, Filipina maupun Eropa Timur, tak memiliki jumlah signifikan, sehingga kurang diperhitungkan.
India di pentas dunia dalam industri IT, saat ini tak tertandingi. Lalu, bagaimana kontribusi teknologi informasi tersebut untuk rakyat. Atau lebih tegas lagi, sumbangan apa yang bisa diberikan teknologi itu untuk 40 persen penduduk India (440 juta manusia), yang berada di bawah garis kemiskinan. Bila benar teknologi mampu mewartakan pembebasan, tantangan ini sungguh-sungguh mendebarkan.
Toffler, sang futuris, telah lama memaparkan menderu-derunya gelombang perubahan, akibat ilmu pengetahuan dan teknologi. Gelombang Pertama adalah gelombang pembaruan, dimana manusia menemukan dan menerapkan teknologi pertanian. Gelombang Kedua merupakan masa revolusi industri, yang memaksa jutaan manusia keluar dari pertanian dan memasuki produksi massal (industrialisasi). Pada masa inilah, pembangunan berarti secara setia menyalin kembali model yang telah berhasil, seperti Eropa ataupun Amerika.
Tahun 1981 Schreiber menghitung, waktu itu pendapatan India kira-kira US$ 200 per orang, sementara Amerika Serikat, Jepang dan Eropa sebesar US$ 10.000 per orang. Misalnya India menjaga pertumbuhan tiap tahun 5%, sementara negara-negara industri maju itu tumbuh 2,5% per tahun, maka dibutuhkan waktu 150 tahun untuk menyamai pendapatan negara industri tersebut. Schreiber menyangsikan, apakah India cukup sabar menunggu satu setengah abad (Alisjahbana, 1984).
Toffler lalu mewartakan kabar gembira, yaitu kehadiran Gelombang Ketiga, tentang munculnya revolusi komunikasi dan teknologi informasi. Menurutnya, tak perlu mengorbankan lingkungan hidup, kebuda-yaan, agama, struktur keluarga dan dimensi psikologis kehidupan, seperti terjadi pada Gelombang Kedua, untuk memasuki Gelombang Ketiga. Yang miskin maupun kaya, menurutnya, membungkukkan badan di garis start sama, dalam perlombaan baru. Dari paparan spektakulernya India dalam industri IT, tampaknya hal itu terbukti. Namun pertanyaan di atas belum terjawab, bagaimana memanfaatkan IT secara meluas dan mendalam, terutama bagi yang miskin?
IT untuk Rakyat
Atas jasa besar Guttenberg dengan teknologi cetaknya, secara cepat penyebaran berbagai pengetahuan terjadi. Abad pencerahan, lalu bersinar terang di berbagai tempat. Kini akibat revolusi komunikasi dan teknologi informasi, proses perubahan jauh lebih radikal. Jarak dan waktu telah dilipat. Pemerataan informasi dan pengetahuan, bahkan dari ujung selatan ke ujung utara bumi, dalam hitungan detik telah dapat terdistribusi dan diakses.
Buku hasil cetakan bisa dinikmati semua orang, namun bisakah IT dinikmati pula oleh semua orang? Komputer masih mahal, fragile, bahasa Inggris sentris, kompleks dan sulit dipelajari, lalu apakah benda canggih itu hanya untuk elite? Apakah untuk menggunakan IT harus menunggu nutrisi menunjang kesehatan dan pendidikan, pendidikan memberantas buta huruf, listrik masuk tiap desa, jaringan telepon tersambung, serta berbagai kebutuhan yang lain terpenuhi? Agaknya tak perlu, justru itulah tantangan yang harus dipecahkan, setidaknya itu dibuktikan India.
Masyarakat desa terpencil di Madhya Pradesh, secara rutin datang ke pusat pelayanan informasi maya (virtual), asal informasi tersebut berkaitan erat dengan hidup dan kebutuhannya. Sementara itu, e-governance yang dikembangkan di Gyandoot, penduduk desa dengan membayar sekitar dua ribu rupiah dapat melakukan berbagai pengaduan kepada pemerintah. Meski hanya terdiri 30 desa, namun akibat rutinnya pengaduan jumlah per hari, sangat efektif mempengaruhi pemerintah.
Hal mengejutkan terjadi pada eksperimen yang dilakukan pada pemukim kawasan kumuh (slum) New Delhi. Dengan keterbatasan pendidikan, kemampubacaan, serta kemampuan bahasa Inggris mereka dapat dengan cepat menguasai ”antarmuka grafis, tunjuk dan klik berbasis windows” (windows-based point-and-click graphical user interfaces). Hal itu menunjukkan adaptasi masyarakat yang dipandang rendah pendidikannya pada teknologi canggih, asal ada kesempatan, tak bisa disepelekan (Sood, 2001).
Apalagi, kini Indian Institute of Science and Engineers dan Encore Software mengembangkan komputer murah dan makin ”bersahaja”. Bulan Januari 2001, komputer standar untuk internet adalah Pentium III seharga 700 dolar AS, karena terlalu mahal lalu didesain seperangkat peralatan internet seharga 200 dolar AS.
Didasarkan sistem operasi Linux, versi pertama Simputer itu menyediakan internet yang mengakses e-mail dalam bahasa daerah, dengan touch-screen function (mengklik dengan menyentuh layar monitor) dan aplikasi microbanking. Versi selanjutnya, adalah komputer yang bisa bersuara dan menggunakan software yang mampu mentransfer tulisan menjadi bicara, sehingga dapat digunakan penderita buta huruf (HDR, 2001).
Bagi desa terpencil terdapat keterbatasan infrastruktur dasar, agar internet dapat terkoneksi yaitu listrik, telepon (atau sejenisnya), serta koneksi jaringan. Namun semuanya telah dapat dipecahkan. Listrik dapat disimpan melalui baterai (accu) atau universal power supply (UPS), yang mampu menyimpan listrik berjam-jam. Hal ini mengingatkan pada kakek saya di desa dulu, kalau mau mernonton televisi harus menyetrum accu, makanya beliau punya dua accu agar bisa menonton terus.
Di Pondicherry tak tersedia jaringan telepon, hal ini bisa diatasi dengan wireless system atau dengan komunikasi satelit. Sedangkan di Dhar, mulai dikembangkan kabel serat optik. Untuk koneksitas jaringan, teknologi WLL (wireless local loop) telah mampu secara simultan dan kontinu, menghubungkan suara dan koneksi data di desa-desa. Disamping komunitas yang lain, TeNet Group berada di garis depan dalam pengembangan infrastruktur telekomunikasi pedesaan.
Manfaat IT
Distribusi informasi dan pengetahuan merupakan kunci mengejar ketertinggalan, agaknya hal ini disadari benar oleh India. Akhir tahun 2000, diadakan konferensi mengenai website dalam bahasa India, sekretaris Departemen Bahasa Resmi mendesak setiap kementerian dan departemen mengembangkan website sendiri. Sementara itu, proyek Anurasaka menjanjikan translasi bahasa Inggris ke bahasa India berbagai akses web yang berbahasa Inggris. Sedangkan Kementerian Komunikasi, meluncurkan pos elektronik dan telah memiliki 200 pusat. Adapun untuk mengirim pesan dan dokumen, cukup di-scan dan dikirim melalui jaringan elektronik.
Village Knowledge Centers Project yang dijalankan Swaminathan Research Foundation di Pondicherry memulai proyek penyediaan informasi dan pengetahuan untuk masyarakat desa. Secara rutin, offline data yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat desa di update menggunakan transmisi fax protocols. Grameen Bank of Bangladesh menginisiasikan International Centre for Information Technology for the Elimination of Global Poverty dengan mendorong self-help groups (SHGs) melalui micro-credit/micro-finance initiatives (MCIs/MFIs) online.
Seperti jamak diketahui, teknologi informasi juga memungkinkan pendidikan jarak jauh. Pengembangan IT memungkinkan penyediaan masyarakat berupa berita, informasi, panduan, dan pengetahuan yang sebelumnya tak dapat diakses oleh mereka. Hal itu setidaknya telah dilakukan NIIT pada perkampungan kumuh (slum) di New Delhi, serta penduduk desa di Karnataka. Sedangkan pendidikan jarak jauh yang bersifat komersial, disediakan oleh eGurucool dan Zee Interactive Learning Systems (Sood, 2001).
Catatan Penutup
Pendapat Gates telah dirubuhkan, IT dapat dinikmati pula oleh yang miskin, India telah membuktikannya. Bahkan dengan adanya IT, model pembangunan negara maju dengan proyek industrialisasinya (gelombang kedua) yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, polusi, tergerusnya budaya lokal, serta dampak lainnya, dapat dihindarkan.
Dengan memanfaatkan penyebaran pengetahuan melalui IT, tiap daerah dapat memecahkan masalah dan mengembangkan daerahnya berdasar modelnya sendiri.Revolusi komunikasi dan teknologi informasi, bisa menyebarkan berbagai pengetahuan baik untuk yang kaya, miskin, desa maupun kota, sehingga memungkinkan terbentuknya knowledge society, inilah model pembangunan gelombang ketiga.
India telah membangun paradigma dan pencerahan baru model pembangunan, untuk mengejar ketertinggalan. Apakah Indonesia mampu pula melakukannya?
Dimuat di Sinar Harapan tahun 2003
Comments