Posts

Showing posts from 2005

A World Free of Poverty; Economic Possibility of Our Time

*** *********** The End of Poverty:How We Can Make It Happen In Our Lifetime By: Jeffrey Sachs Penguin Press, 2005 xviii + 397 pages ***************** “Silent Tsunami” happens in our daily life. More than 20,000 people die everyday because of extreme poverty. Most people are unaware of the daily struggles for survival, and the vast numbers of impoverished people around the world who lose that struggle. They die namelessly, without public comment. Such stories rarely get written. Poverty is the greatest challenge of our age. More than one billion people live in the extreme poverty, it means one sixth of world population. Considering enormous problem, do we dare to dream a world free of poverty? Jeffrey Sachs bravely answers, yes we are. Not only dreaming, the Special Advisor to UN Secretary-General also gives concrete ways to reach the dream through his new book entitled The End of Poverty as a road map to a more prosperous and secure world. Sachs’s experience is globally recognized. Th...

Difficulties of Building Microfinance

The progress of microfinance in serving microenterprises in Indonesia remains low. Although the activity is backed up by some banks such as BRI (people’s bank) and BPR (rural bank), there is still a huge gap between demand and supply. Based on data of Gema PKM (The Indonesian Movement for Microfinance Development), not more than 10 millions of 41.8 millions microenterprises have been served by microfinance. It means less than 25% of the total microenterprises in Indonesia. In the global level, microfinance is now accepted as a strategic tool for poverty alleviation. It is not very surprising when the United Nations has named this year as International Year of Microcredit (microfinance). Actually, this event is related with the Millenium Development Goals, which has an ambitious target for reducing half of the poverty rate until 2015. As it has been accepted in Microcredit Summit 1997 in Washington, there are 4 principles for running microfinance institution. These principles are reachi...

Menimbang Pilar Ketiga Dunia

MENGAWALI abad ke-21, dunia gelisah. Robohnya World Trade Center (WTC) dengan cara yang menggidikkan bulu roma, disusul ingar-bingar perburuan teroris di berbagai sudut jagat, membuat resah. Dalam seketika, sengat kedengkian dan kebencian berkobar. Ia ada di sana-sini. Generalisasi prejudice dan stereotype menyala. Tiba-tiba saja, siapa sebenarnya yang diancam dan siapa yang mengancam menjadi kabur. Namun, yang jelas bom di Bali membuat sadar bahwa kita sama-sama terancam. Tak ada tempat yang dijamin aman di jagat ini. Semenjak 50 tahun terakhir, dunia telah berubah secara radikal. Koordinat tradisional pemetaan politik dunia berubah jauh. Keangkeran tirai besi raksasa lumer. Bagai air bah, glasnost dan perestroika justru menenggelamkan Uni Soviet. Tembok Berlin ikut roboh. Derasnya arus pasar telah menyingkap tirai bambu Cina pula. Pesatnya kemajuan teknologi informasi, ikut meramaikan nyaringnya perubahan. Lalu, benarkah kemenangan kapitalisme liberal merupakan akhir dari sejarah, se...

Confessions of an Economic Hit Man

Image
Kami mewawancarai John Perkins, mantan anggota terhormat komunitas bankir internasional. Dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man, ia menjelaskan bagaimana sebagai seorang profesional yang dibayar mahal, ia membantu Amerika mencurangi dan menipu negara-negara miskin di dunia dengan trilyunan dolar, meminjamkan mereka utang yang melebihi kemampuan mereka untuk membayar, dan kemudian menguasainya. Berikut transrip wawancaranya. John Perkins menceritakan dirinya sebagai mantan “anggota perusak ekonomi” (economic hit men) - seorang profesional yang dibayar mahal untuk mencurangi negara-negara di dunia dengan triliunan dolar. (Sebenarnya) 20 tahun yang lalu Perkins telah memulai menulis buku dengan judul, Conscience of an Economic Hit Men. Perkins menulis, “Buku ini didedikasikan untuk presiden di dua negara, mereka yang telah menjadi klien dan saya sangat respek pada spirit kebaikannya, yaitu Jaime Roldós (presiden Ekuador) dan Omar Torrijos (presiden Panama). Keduanya terbunuh dal...

Mewaspadai Kapitalisme Global

Sulit dipungkiri, kenyataan yang bercokol di jagat adalah pertarungan pengaruh. Pertarungan yang menyentuh hal yang paling subtil dalam diri manusia, yaitu kesadaran. Hal ini sangat strategis, sebab seperti yang dikatakan Gramsci “If you can occupy peoples' heads, their hearts and their hands will follow”. Globalisasi telah mengakselerasi secara intensif dan ekstensif, sebuah homogenisasi pemikiran. Gosovic menyebutnya sebagai global intellectual hegemony.Sekelompok kecil elit yang memiliki sumber daya, jangkauan dan kekuasaan tak terbatas, telah mempengaruhi jagat. Mereka sepakat membangun kerangka konseptual dan paradigma, lalu mengglobalisasikan pemikiran itu. Kesepakatan tersebut dikenal dengan nama “Washington Consensus”. Disebut “consensus” karena merupakan sebuah konstruk atau model tanpa memberikan ruang perdebatan dan partisipasi. Kesepakatan itu dianggap “mantra” atau panacea yang akan memberikan jawaban persoalan dunia. Di era 1990-an, globalisasi pemikiran tersebut memb...

Leviathan itu Bernama Orde Baru

************** ******** Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru Daniel Dhakidae, Gramedia Pustaka Utama, xxxviii + 790 halaman ************** ******** Sekokoh apapun kekuasaan, bila telah tergerogoti legitimasinya, akan tetap rapuh. Meski kekuasaan itu telah diselingkuhi pengetahuan, serta ditopang bedil dan kekerasan yang tak alang kepalang. Itulah akhir cerita Orde Baru. Sepotong kisah pedih, pada sebuah bangsa yang dalam pencarian. Namun jangan terkecoh, buku ini tak hanya berkisah tentang Orde Baru. Di awalnya, Dhakidae juga mengisahkan dari mana munculnya bayangan kebangsaan (imagined community) Indonesia. Para cendekiawan (founding fathers) yang tercerahkan, kemunculannya justru disebabkan pendidikan yang merupakan politik etis Belanda. Meski pada mulanya, pendidikan itu ditujukan untuk menghasilkan ambtenar dan administratur. Dan tak bisa dihapus dari sejarah, pada mulanya kaum cendekiawan kiri lebih progresif dari cendekiawan kanan yang nasionalis. Perlawanan terhadap ...

Derita Perjalanan Menuju Sebuah Bangsa

************** ******** Mencari Demokrasi; Benedict Anderson, Clifford Geertz, Daniel S. Lev, George McT. Kahin, Goenawan Mohamad, Takashi Shiraishi, William Liddle Institut Studi Arus Informasi (ISAI), 272 halaman ************** ******** LEWAT esainya, psikososial MAW Brouwer menuliskan kesan yang mendalam tentang Indonesia. Damned strange country, very very misterius. Negeri yang aneh, sangat aneh dan penuh rahasia. Orang selalu tertawa, selalu tersenyum, selalu bersenda-gurau tetapi... simsalabim hilanglah kepalamu. Clifford Geertz seorang sosiolog Indonesianist, juga tak kalah "misterius" mengungkapkan pandangannya tentang Indonesia. The crocodile is quick to sink, but slow to come up. Walaupun airnya kelihatan tenang tetapi ada buayanya. We can only wait for the crocodile! Begitu ujarnya. Indonesia memang tak mudah ditebak, bahkan sangat rumit. Banyak hal yang akan terjadi, lebih banyak dari apa yang kita pikirkan. Kemajemukan suku bangsa, ras, bahasa, dan agama, dalam n...

Mengasah Hati Nurani

Image
************ ***** YB Mangunwijaya, Rumah Bambu, Kepustakaan Populer Gramedia, 218 halaman ******** ****** JANGAN pernah membayangkan buku ini akan bercerita tentang perjuangan anak manusia yang memperjuangkan idealisme, seperti Minke dalam tetralogi dashyatnya Pram. Jangan pula merujuk Nietzche yang mencoba gigih "membunuh" Tuhan. Pokoknya, jangan merujuk penganut eksistensialisme yang mencoba menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang pribadi. Bila Anda masih membawa perspektif itu ketika membaca buku ini, maka Anda akan kecewa, bahkan kecewa berat. Hampir semua tema buku ini merupakan kisah kehidupan orang-orang kalah, yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Mereka yang terpaksa mengisi spasi antara kelahiran dan kematian dengan hanya bertahan serta menelan kepahitan dan kekalahan. Buku ini akan menantang kita merasakan dan berempati pada kegetiran "kaum lapar, kaum yang terhina", yang bila dalam lagu Internationale disebut sedang dirantai. Buku ini akan membawa ...

Pemberdayaan Petani, Sebuah Agenda yang Mendesak

“Mereka yang tidak mengingat masa silam, akan terkutuk mengulanginya” George Santayana Dalam sejarah, dunia pertanian Indonesia mempunyai kontribusi besar dalam membangun ekonomi Belanda setelah terpuruk akibat perang melawan Belgia dan Perang Jawa. Melalui penderitaan yang panjang, petani menjadi tumbal atas kontribusi itu. Periode tanam paksa (1830 – 1870) merupakan salah satu sejarah paling kelam terhadap nasib petani [1] . Penderitaan itu antara lain terlukis dalam Max Havelaar karya dari Multatuli. Tanam paksa merupakan kombinasi yang “canggih” antara feodalisme dan kolonialisme sekaligus. Petani diperas tenaganya (dan tanahnya) secara berganda melalui kerja paksa, yaitu untuk kepentingan kolonial dan para “elit pribumi” (priyayi). Hal ini menyulitkan petani untuk mendapat cukup waktu bagi dirinya sendiri. Kelaparan dan kemelaratan yang hebat, lazim dijumpai pada waktu itu. Sistem tanam paksa makin lama makin menguntungkan Belanda. Pendapatan tahunan selama 1850-an dan 1860-an sa...